Monday, April 1, 2019

HARI FILM NASIONAL 2019 : Film Indonesia, Langka di Negeri Sendiri, Menjamur di Negeri orang


Rilisan fisik produksi Malaysia

Film Indonesia merupakan salah satu khasanah kekayaan yang patut di lestarikan. Menjelang Hari FIlm Nasional yang jatuh setiap tanggal 30 Maret maka sebagai pecinta film sudah selayaknya kita terus menjaga dan tentu saja melestarikan dengan cara menonton film Indonesia di bioskop-bioskap. Geliat film Indonesia kian hari kian membanggakan. Berdasar data dari filmindonesia.or.id Dilan 1990 menjadi film terlaris dengan perolehan penonton 6.315.664 , ini tentu sangat membanggakan menyusul juga Dilan 1991 yang hingga berita ini di tulis sudah mencapai 5.192.103. Selain itu perolehan film terlaris juga dari film Warkop DKI Reborn, Jangkrik Boss 1 dan 2, Ada Apa dengan Cinta 2, Pengabdi Setan, Suzanna dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa grafik penonton film Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Tentu peningkatan ini menjadi sesuatu yang menggembirakan terutama bagi industri perfilman tanah air. Namun demikian Bioskop yang ada saat ini boleh di bilang hanya ada di kota-kota besar dan hampir tidak di temui lagi bioskop kelas 2  yang memutar film-film 'agak' lama yang telah beredar di bioskop kelas 1 namun dengan harga murah. Kenapa di perlukan bioskop kelas 2, karena dari sini dapat lebih menjangkau masyarakat kecil dan tidak melulu harus ke kota untuk dapat menonton film yang beredar. Saat ini seolah tidak ada pilihan lagi untuk menonton film. Seorang rekan bahkan pernah bercerita untuk nonton film harus ke kota dulu yang membutuhkan waktu 3 jam dari rumahnya dan biaya yang di keluarkan tidaklah sedikit karena sekali nonton untuk berdua ia harus mengeluarkan kocek paling tidak sebesar Rp. 200.000,- . Bagi masyarakat kota besar mungkin sudah terbiasa namun bagi masyarakat yang rumahnya jauh hal ini tentu akan membuat malas untuk nonton bioskop. Karena Bioskop merupakan kelas mewah bagi mereka dan harus menuju ke pusat kota.

Hal ini tentu berbanding terbalik kala Film Indonesia juga pernah mengalami jaman keemasan yaitu di era 80an hingga pertengahan 90an Film Indonesia yang tayang di bioskop masih dapat di nikmati dengan kelas atau tingkatan bioskop yang ada. Kalau kelas mahalnya nonton bioskop adalah di jaringan 21 (baca  : twenty one) dengan film-film baru yang di putar sedangkan kelas 2 ada di bioskop dengan harga pertengahan biasanya memutar film yang sudah agak lama tayang di jaringan 21, sedangkan di bioskop kelas 3 merupakan film-film yang sudah cukup lama tayang di jaringan 21 . Bioskop ini murah untuk kelas rakyat dan merupakan hiburan yang di cari terutama saat malam minggu tiba.  Kalau mereview ke masa lalu saya ingin mencontohkan di Jalan Soepomo - Tebet Jakarta Selatan terdapat 3 bioskop berderet dengan kelas berbeda. Bioskop "Viva Theatre" merupakan jaringan twenty one kala itu tarifnya Rp. 5000 untuk sekali nonton, kemudian di sebelahnya ada "Tebet Theatre" yang merupakan jaringan bioskop kelas menengah dengan tarif Rp. 3000,- dan di Sebelah bioskop Tebet ada Wira Theatre, bioskop murah yang cukup melegenda pada jamannya. Wira Theatre Tarifnya cukup terjangkau untuk kalangan bawah dengan Rp. 1.500, - maka bisa menontonnya. Biasanya akan ramai saat malam minggu tiba.

Sayangnya saat ini bioskop bioskop kelas menengah ke bawah sudah tidak ada lagi  terlepas dari persaingan bisnis dan sepinya penonton yang menyebabkan mereka gulung tikar.  Bioskop saat ini lebih banyak menyasar ke masyarakat perkotaan.

Mengatasi hal tersebut salah satu solusi sebenarnya adalah dengan menonton film dari Media VCD maupun DVD dari film-film yang rilis dengan demikian bisa lebih menjangkau hingga lapisan masyarakat terpencil sekalipun karena dapat di bawah ke rumah.Namun demikian untuk mendapatkan rilisan fisik saat ini pun tergolong sulit. Untuk film baru, tidak semua rilis dalam bentuk VCD sementara untuk film-film Indonesia lawas, di akhir 90an dan awal 2000an memang film Indonesia lawas banyak beredar dan di jual di toko-toko kaset yang saat itu sedang booming juga. Sebut saja film-film Barry Prima, Film Dramanya Meriam Bellina, dari Gita Cinta dari SMA hingga Jaka Sembung ada di rilis dalam bentuk VCD, namun saat ini film-film tersebut sulit di temui lagi. kalaupun ada sudah mahal dari tangan kolektor. Makin kesini rilisan fisik sudah sulit di temui apalagi setelah bertumbangan toko-toko kaset menyebabkan peredaran rilisan fisik dalam bentuk VCD dan DVD makin sulit untuk di cari. Selain juga perilaku pengguna atau penonton yang hanya mau menonton secara gratis melalui media Youtube. Namun demikian diantara orang-orang pehobi youtube banyak juga yang mengkoleksinya dalam bentuk rilisan fisik meski dengan harga yang tidak murah.
VCD Rilisan malaysia

VCD Rilisan malaysia

VCD Film Indonesia Jadul Rilisan Malaysia

Peredaran VCD maupun DVD film di Indonesia saat ini kian lesu dan tidak menarik bagi para distributor, hal ini terbukti dengan sulitnya ditemui film-film dalam bentuk VCD maupun dvd di pasaran. Ironisnya ketika di negeri sendiri sulit mendapatkan film-film Indonesia terutama film Indonesia lawas, justru di negeri tetangga Malaysia banyak betebaran film-film Indonesia rilisan Malaysia. Sangat sulit memang di percaya tapi itulah yang terjadi. dan ini menandakan pangsa pasar film Indonesia lawas khususnya cukup menjanjikan. Mereka berani berinvestasi meski notabene film-film yang mereka rilis bukanlah film Malaysia sendiri. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah jalan-jalan ke Malaysia dan memang tidak sengaja nyari tapi pas ada kedai musik speedy masuk dan banyak film Indonesia, sedikit kalap saat itu sih beli.

Bahkan rilisan Malaysia banyak sekali film-film yang langka dan sudah tidak di produksi lagi di Indonesia saat ini pun masih betebaran disana. Sebut saja pengabdi setan, Kidung cinta, kuberikan segalanya dan masih banyak lagi. Rilisan Malaysia juga tergolong ekslusive dari segi kemasan karena mereka masih menggunakan kotak mika dengan cover yang menarik meski tidak menampik beberapa cover juga tidak nyambung dengan filmnya namun paling tidak mereka masih mengupayakan film-film untuk di rilis dalam bentuk kemasan fisik.

Dan yang sebenarnya terjadi adalah kenapa film Indonesia di Malaysia masih di produksi dalam kemasan fisik seperti VCD? karena memang pangsa pasarnya ada, tak jarang film-film tersebut juga di beli oleh orang Indonesia dan di jual di facebook. Untuk harga sebenarnya kalau di bilang murah ya sudah tidak murah namun kalau di pikir beli sendiri juga jadi lebih mahal jatuhnya. Belum lagi kena biaya kirim dan sebagainya. Film Indonesia rilisan fisik produksi Malaysia masih banyak di temui disana di bandingkan dengan di Indonesia sendiri.

Bagaimana dengan kualitas film rilisan Malaysia? Kalau dari segi kualitas sih mereka kadang filmnya goyang jika di banding dengan rilisan lokal, beberapa kelebihanya kadang rilisan Malaysia itu full tanpa sensor sementara rilisan Indonesia yang pernah di rilis dahulu, tidak full alias sudah di potong sensor. Tapi bagaimanapun juga kalau saya sih lebih memilih rilisan lokal karena covernya kadang lebih unik khususnya untuk rilisan awal ya... namun rilisan Malaysia menjadi pilihan terakhir jika di sini sudah tidak ada.

Nah kemarin hari film Nasional baru saja di peringati tiap 30 Maret, semoga bioskop Nasional makin banyak dan menjangkau hingga pelosok negeri.

Harapannya sih semoga film-film Indonesia kembali dirilis dan di permudah dari perijinannya untuk rilis daripada di ambil negeri tetangga dan di jual sementara konsumennya sendiri sebenarnya adalah orang Indonesai sendiri. Semoga masih ada distributor film yang tertarik untuk mencetak rilisan fisik karena sebenarnya pangsa pasarnya masih ada, tidak semua hobi nonton di youtube kok tapi banyak yang masih mencintai dan mengkoleksi film Indonesia. Maju terus film Indonesia.

No comments:

Post a Comment