Wednesday, December 28, 2022

SAUR SEPUH, SATRIA MADANGKARA BAGIAN 5





Sambungan dari Bagian ke 4

Tumenggung Adiguna yang muda dan gagah memimpin rombongan sembilan orang berkuda yang memacu kuda mereka dengan pesatnya. Tak lama kemudian mereka telah tiba di perbatasan antara negeri Pamotan dan Majapahit. Di perbatasan itu nampak tanda berupa tapal batas yang terbuat dari batu bata. Di sampingnya terletak batu besar dengan ukiran bertulis yang menyatakan daerah itu merupakan tapal batas antara kedua negeri. 

Cuma ada jalan setapak yang menuju ke daerah Pamotan sebab jalur ini bukan merupakan jalan utama. Tapi pinggiran hutan yang masih cukup lebat dan angker itu terlihat beberapa ekor kuda di tambat sedang makan rumput. Di Tempat itu terlihat Tumenggng Bayan sedang istirahat di bawah pohon. Tiba-tiba seorang anak buahnya berlari-lari menghampirinya. 

Tumenggung Bayan duduk sambil menguap. Dia memasang kembali pedang yang di apakai sebagai pengganjal leher tadi ke pinggangnya. Dengan sigap dia mendengarkan laporan bawahannya. 

"Orang mana?" tanyanya dengan tegas.
"Kurang jelas den, Tapi jelas mereka bukan orang Majapahit!"

Tumenggung Bayan segera bangkit. 
Rombongan tumenggung Adiguna memasuki daerah perbatasan. Tubuh mereka berkeringat dan penuh debu. Rombongan itu di paksa berhenti karena tiba tiba dari semak-semak dan balik poohon besar muncul kira-kira lima puluh orang Pamotan dengan sorot mata yang tidak bersahabat. 

"Kami utusan dari Madangkara, mau ke Pamotan membawa surat Baginda Prabu Brama buat paduka Bre Wirabumi!" seru Tumenggung Adiguna dengan Lantang. 


Tumenggung Bayan menyeruak diantara anak buahnya. Sikapnya lebih tidak bersahabat lagi. Bentakannya membuat Tumenggung Adiguna tersinggung. 

"Turun!" Siapapun yang memasuki wilayah Kedaton Timur harus di geledah!"

Tumenggung Adiguna terpaksa turun dari kudanya. Demikian juga dengan anak buahnya. Tumenggung Bayan mendekati Tumenggung Adiguna. 

"Kamu Pemimpinnya?" Mana surat itu!

"Surat ini untuk rajamu! Kamu tidak berhak memeriksa", sahut Tumenggung Adiguna. 

"Tidak usah macam macam, surat itu aku yang mengantar! sebab sementara kalian harus di periksa dulu, siapa tahu kalian mata-mata Majapahit, atau sekutu Majapahit!" Tumenggung Bayan berkeras 

Tumenggung Adiguna tidak bersedia di perlakukan seperti itu. 

"Tumenggung Adiguna pantang di hina! Rajaku menyuruh aku mengantar surat ini dengan tanganku sendiri!"

Dengan gerak kepalanya Tumenggung Bayan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyerang.

"Paksa!", serunya dengan suara keras.



Perkelahianpun terjadi keadaanya sangat tidak seimbang, nyaris satu melawan lima. Tapi Tumenggung Adiguna adalah orang yang sangat ahli menggunakan pedangnya. Berpuluh kali dia terjun ke medan perang mendampingi rajanya. Maka dalam waktu singkat dia berhasil menewaskan prajurit penjaga dari Pamotan. 

Tapi Tumenggung Bayan juga buan orang sembarangan. Dia benar-benar orang kepercayaan Pamotandan pernah mengikuti pendidikan militer singkat dari perwira perwira utusan Kaisar Yang La. 

Perkelahian terjadi dengan serunya sampai akirnya kedua Tumenggung itu berhadap-hadapan satu sama lain. Keduanya sama-sama sakti dan sama-sama memiliki ilmu berkelahi yang sangat tinggi. Bedanya Tumenggung Bayan memiliki ilmu kedigdayaan. 

Setelah bertarung dengan ilmu keprajuritan, ternyata Tumenggung Adiguna cukup mahir maka Tumenggung Bayan yang jumawa mulai mengelurakan ajian Cadas Ngampar. Sebuah ajian dengan akibat yang sangat fatal kalau sampai mengenai sasaran karena hasil pukulan itu bisa menghancurkan bukit karang sekalipun. 

Tumenggung Bayang melompat mundur beberapa tindak kemudian menempelkan tangan kanannya dengan telapak kiri dalam gerakan yang sangat bertenaga di lontarkannya pukulan ke arah Tumenggung Adiguna yang secara naluriah mengerti akan bahaya pukulan tersebut. Dia segera melompat dan pukulan Cadas Ngampar itu menghancurkan tonggak tapal batas yang berdiri kokoh dari batu bata. 


Tumenggung Adiguna makin hati-hati sementara Tumenggung Bayan makin gencar dengan serangannya. Beberapa pohon tumbang ole pukulan itu karena batangnya hancur. Tumenggung Bayan seperti orang kesurupan. Gerakan-gerakan Tumenggung Adiguna yang lincah berlompatan seperti tupai segera menjadi pemikiran Tumenggung Bayan untuk memberikan pancingan. Sementara itu perkelahian antara anak buah makin tidak seimbang. Orang-orang Madangkara di babat habis, tinggal dua orang lagi yang masih bertahan. 

Ketika itu Tumenggung Bayan memancing seolah-olah dia menyerang lagi dengan ilmunya. Tumenggung Adiguna melompat seperti tupai dan baru ketika itulah Bayan melepas Cadas Ngamparnya sehingga tubuh yang melayang itu meledak, hancur berkeping-keping. Salah seorang anak buah Adiguna yang seungguhnya sudah terluka parah melihat kejadian itu. Dia segera bergulingan menyambar tas terbuat dari kulit yang ikut melayang kemudian dengan gesit melompat ke atas kudanya yang segera di pacu dengan cepat.

Beberapa orang anak buah Tumenggung Bayan hendak mengejar tapi di cegah oleh Tumenggung yang sakti tapi sombong itu.

"Tidak usah! Dia akan mati kehabisan darah! Kuburkan para korban dengan baik, bagaimanapun mereka pahlawan dari negerinya!", perintahnya segera. 

Malam hari di Kaputren Pamotan nampak seorang wanita setengah baya sedang duduk merenung di dekat lampu minyak yang menerangi ruangan itu. Dia adalah ibu angkat Bre Wirabumi yang bernama Rajasaduhitunggadewi. Bre Wirabumi duduk menunggu di dampingi isterinya yang bertubuh gemuk. 

"Tekadmu sudah bulat nak?", tanya Tunggadewi
"Kenapa ibu tanya lagi?".

"Karena tekad itu akan menentukan sebuah perang saudara yang pasti akan menghancurkan trah Narraya Sanggramawijaya. Dendam akan mengalir pada detak-detak jantung para keturunan gugur", Tunggadewi memberi nasehat kepada Bre Wirabumi. 

"Terpaksa hamba lakukan kanjeng ibu, sebab ini masalah hak. Hak yang di berikan secara keliru oleh ayahanda gusti Prabu Hayam Wuruk kepada Wikramawardana", Bre Wirabumi menyahut. 

Ibu angkat Wirabumi hanya menggelengkan kepalanya. Separuh wajahnya yang  sendu tertimpa sinar cahaya lampu. Air matanya menitik perlahan. 

"Ini cuma masalah hawa nafsu. Kamu terpengaruh oleh cita-cita kakekmu Sriwijaya Rajasa sang Apanji Waning Hyun, yang ingin melepaskan diri dari bayangan kekuasaan menantunya sendiri, ayahmu. Itulah sebabnya sang Apanji ayahku mengangkat kamu sebagai anakku untuk meneruskan keinginannya melepaskan diri dari Majapahit,"

Bre Wirabumi terdiam. Rajasaduhitunggadewi bangkit menuju ke jendela dimana di kejauhan terlihat rumah-rumah bangunan istana Pamotan yang telah gelap. 

"Sialnya kemarin aku mimpi buruk sekali",

"Tentang Apa?" tanya Bre Wirabumi

Wajah setengah tua itu berusaha untuk bisa menahan perasaan yang sebenarnya sedang menghancurkan kalbunya. 

"Singgasana Pamotan berlumur darah...."

Bre Wirabumi kaget tapi dia berusaha menenangkan sikapnya. 

"Ibu.... mimpi itu bukan untuk hamba. Banyak negeri yang mendukung Pamotan. Bre Tumapel pun berada di belakang hamba. Dan seperti ibu ketahui Kaisar Yung La dari negeri Cina telah memberikan stempel emas pada hamba. Mereka semua akan berdiri di belakang Pamotan. Percayalah mimpi itu bukan untuk hamba!"

Wajah ibu setengah baya itu kian mendung. Di elusnya rambut Bre Wirabumi. 

"Ibu tidak menghalang-halangi iatmu. Cuma cemas, sebab dalam mata hati ibu perang itu sudah terjadi. Perang yang akan mengguncangkan seluruh bumi Nusantara. Perang Paregreg!.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 6...............................


Monday, December 12, 2022

SAUR SEPUH SATRIA MADANGKARA BAGIAN 4

 

Tumenggung Adiguna melawan Pasukan Tumenggung Bayan

LANJUTAN DARI BAGIAN 3.............

Beberapa orang prajurit dengan pakaian kerajaan Pamotan tampak siap di samping kuda masing-masing. Mereka kurang lebih sepuluh orang. Sementara itu seekor kuda yang kelihatan lebih besar dan gagah di bandingkan yang lainnya masih kosong. Beberapa orang murid padepokan ilmu silat Bukit Kalam menunggu dengan duduk-duduk di teritisan bangunan pendopo padepokan yang cukup sederhana. Dari dalam rumah padepokan muncul seorang tumenggung yang di kenal dengan nama tumenggung Bayan, Orang kuat dalam pamotan. 

Ia diiringi seorang wanita cantik dengan tubuh sintal dan bentuk bibir yang selalu menantang. Sementara itu sorot matanya selalu kelihatan mengajak dan nakal. Wanita itu bernama Lasmini guru dari padepokan silat tersebut. 

Kali ini kelihatan Lasmini tengah merajuk sementara tumenggung Bayan berusaha menentramkan hati pacarnya atau simpanannya mengingat ia sendiri sudah menikah. 

"Kalau tidak ada tugas pasti aku menginap Lasmini, Keadaan semakin gawat, semua tentara di siagakan  di semua gerbang Pamotan dengan Majapahit". Tumenggung Bayan menjelaskan. 

"Hamba takut kakang Bayan punya perempuan lain. Saya tahu gadis-gadis Pamotan jauh lebih cantik dari gadis Pajajaran seperti saya", Lasmini kembali merajuk. 

"Selain istriku yang sah cuma ada kamu. Besok kakang kemari lagi", Tumenggung Bayan berusaha meyakinkan.

"Menginap?", tanya Lasmini manja sekali. 

"Pasti".

Tumenggung Bayan menaiki kudanya kemudian pergi bersama rombongannya. Malam mulai gelap. Obor Obor menerangi halaman padepokan dengan sinarnya yang meriap-riap di terpa angin. 

Lasmini tersenyum nakal sambil memandang ke kejauhan. 


BERSAMBUNG... KE BAGIAN 5

Monday, December 5, 2022

SAUR SEPUH, SATRIA MADANGKARA BAGIAN 3

 

Mantili dan Patih Gotawa terlibat perkelahian

............LANJUTAN dari Bagian 2

Bangunan-bangunan di komplek istana Madangkara ini hampir menyamai bentuknya dengan keraton di Majapahit dan Pajajaran. Hanya bentuknya lebih kecil dan tidak terlampau mewah. Dua orang penjaga gerbang dalam pakaian keprajuritan Madangkara dengan sikap tegak bersenjatakan tombak, mengawasi beberapa orang yang sedang berjualan di bawah sebatang pohon yang rindang dekat pintu gerbang.

Di balai penghadapan Keraton Madangkara, Sang Prabu Brama Kumbara kelihatan sedang bercengkerama dengan adiknya, Dewi Mantili serta Patih Gutawa yang merupakan suami adiknya dan Harnum permaisurinya. 

Sementara itu beberapa dayang emban dengan penuh pengabdian duduk bersila pada lantai bawah. Empat orang prajurit penjaga keraton berdiri tegak di samping-samping ruang yang berbentuk pendopo agung itu. Sang Prabu duduk di atas singgasana dari kayu berukir indah dengan bantalan kain yang dirajut dengan benang-benang emas sementara mahkota yang dikenakannya tidak terlalu rumit namun indah dan mahal.

"Untuk sementara kamu saya bebaskan dari tugas-tugas kenegaraan dinda patih, gunakan waktu itu untuk bersenang-senang dengan istrimu", Seru Brama Kumbara.

Patih Gotawa senyum menunduk. Sementara Dewi Mantili yang agak tersipu berusaha untuk menutupi perasaanya. Harnum tersenyum melihat keadaan seperti itu. Patih Gotawa dan Mantili adalah sepasang pengantin baru 

"Kami merencanakan mau ke kampung Jamparing kakang Brama, kangen sama Raden Bentar dan kakang Dewi Pramitha", sela Patih Gotawa. 

"Apa cocok untuk pengantin baru?", tanya Brama Kumbara

Patih Gotawa cepat menyahut : "Itu kemauan dinda Mantili gusti Prabu!".

"Mestinya kamu tidak boleh selalu memaksakan kehendak, Mantili.Sekarang kamu adalah seorang istri, bukan lagi Dewi Mantili si Pedang setan yang selalu bertindak seenaknya. Ada orang lain yang jadi pemimpinmu, suamimu!", Brama Kumbara berkata dengan penuh wibawa.

Mantili cuma tersenyum simpul sementara Harnum yang duduk mendampingi sang Prabu juga ikut tersenyum. Kemudian Harnum ikut Bicara : 

"Sebenarnya saya juga  ingin ke Jamparing kakang Prabu, sudah hampir tiga bulan kita belum kesana. Mungkin Nanda Bentar juga sudah kangen sama kakang Prabu, Dinda Paramita mestinya juga begitu."

Brama Kumbara menoleh kepada istrinya sambil tersenyum. 

"Memang akan lebih bijaksana kalau isteri-isteriku berkumpul disini. Kalau saja aku tidak memikirkan pendidikan Bentar, Paramita kuharuskan tinggal di sini. Gotawa....suruh tumenggung Ajisanta menghadap. Dia yang akan mewakili selama kita pergi."

"Baik Gusti Prabu."

Dari luar terlihat Senopati Ringkin masuk dan duduk memberi hormat. 

"Ada apa Senopati", Tanya Brama Kumbara.

"Maaf Gusti Prabu, kami menangkap delapan orang dari Majapahit dan Pamotan yang bertikai di perbatasan Madangkara. Mereka mau menghaturkan surat dari raja mereka masing-masin", Senopati Ringkin segera melaporkan apa yang telah terjadi.

Brama Kumbara agak kurang mengerti mendengar laporan Ringkin yang aneh. Kedatangan utusan dari negara besar seperti Majapahit ke Madangkara benar benar suatu kehormatan. Tapi utusan dari Pamotan yang setau beliau adalah negeri bawahan Majapahit benar-benar mengherankan. 

"Hadapkan pimpinan mereka satu-satu!, serunya segera

"Daulat Gusti!".

Tumenggung Bayan dan Satria Madangkara

Utusan dari Majapahit yang tiga orang memisahkan diri dari lima orang pamotan dimana diantara mereka yang terluka akibat perkelahian. Kedua belah pihak kelihatan saling membenci. Beberapa orang prajurit Madangkara mengawasi mereka. Senopati Ringkin mendatangi kelompok utusan tersebut lalu membawa mereka satu persatu menghadap Brama Kumbara. 

Mantili dan Patih Gotawa menoleh ke arah kedatangan utusan dari Pamotan. Brama Kumbara dengan tenang menyuruh panglima Rowi untuk menyampaikan maksudnya. Panglima Rowi duduk dengan hormat dan mengeluarkan surat yang diserahkan pada Brama Kumbara. 

"Ada pesan dari rajamu?", tanya Brama Kumbara.

"Daulat Gusti, hamba di utus untuk menyampaikan ini!".

Sang Prabu membaca surat itu. Mukanya menjadi keruh. Agak sulit baginya utuk menentukan jawaban. 

"Kamu boleh pulang, saya akan mengutus orang untuk menyampaikan suratku pada Bre Wirabumi!".

"Terima Kasih Gusti, hamba mohon pamit!"; sahut Panglima Rowi sambil mohon diri.

Brama mengangguk arif, Panglima Rowi segera meninggalkan tempat. Mantili benar-benar ingin tahu apa isi surat itu. Segera ia bertanya pada Brama Kumbara.

"Kalau Boleh tahu, apa isi surat itu Kakang Prabu?',

"Sulit untuk menentukan pilihan, Bre Wirabumi meminta dukungan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit", sahut Brama Kumbara.

"Memberontak?", tanya Mantili tak mengerti. 

"Akhirnya akan kesana, sebab tidak mungkin Majapahit akan membiarkan negeri bawahannya berdiri sendiri dan ini akan menjadi malapetaka bagi kerajaan besar itu. 

"Mungkn karena Bre Wirabumi merasa berhak menguasai tahta daripada Wikrama Wardhana", sela Harnum. 

"Saya kurang mengerti, tapi seorang raja agung seperti gusti Dyah Hayam Wuruk tidak mungkin bertindak tanpa pikiran yang matang. Mungkin beliau beranggapan bahwa menantunya justru lebih cerdas dan jujur untuk memimpin sebuah negeri yang maha luas kekuasanya daripada putra lelakinya yang kebetulan lahir dari seorang selir", Brama kumbara mengemukakan pendapatnya.

Tumenggung Bayan dan para pasukannya

Tak lama kemudian utusan dari Majapahit datang dan duduk bersembah. Brama Kumbara menyambutnya dengan senyuman yang bijak. 

"Hamba Hulubalang Ludaka, menghaturkan surat Baginda Prabu Wikramawardhana  yang agung!", seru Hulubalang Ludaka sambil mengingsut mendekati tahta Prabu Brama Kumbara. 

Brama Menerima surat itu dan membukanya. Surat itu di buat dari daun lontar yang ditulis dengan indah.

"Selain ke Madangkara, kemana lagi kamu akan pergi?", tanya Brama Kumbara. 

"Menghubungi semua kerajaan sahabat Majapahit, Hamba akan ke Pajajaran, ke Sumedang Larang, Gunung Singguruh dan ke Malayapati", sahut Hulubalang Ludaka.

Prabu Brama Kumbara Mengangguk.

"Ke negeri-negeri itu utusan dari Pamotanpun akan datang. Kamu boleh meneruskan perjalanan, aku akan mengirim utusan khusus ke Majapahit secepatnya".

"Terima kasih Gusti Prabu, hamba mohon pamit!".

Hulubalang Ludaka bangkit dan meninggalkan tempat. Brama kumbara melirik patih Gotawa.

"Gotawa, Panggil tumenggung Adiguna, dia akan kuutus membawa suratku untuk Pre Pamotan dan Baginda Wikramawardana!".

"Daulat Gusti Prabut!".


BERSAMBUNG KE BAGIAN 4------------------------------------------------