Showing posts with label cerita film saur sepuh. Show all posts
Showing posts with label cerita film saur sepuh. Show all posts

Tuesday, January 23, 2024

FILM PERTAMA LAMTING PERAIH MEDALI EMAS SEAGAMES 1987


Bagi penggemar Saur sepuh dan sinetron tutur tinular pasti mengenal nama "Lamting" . Dalam Saur Sepuh ia lebih dikenal saat berpasangan dengan Joseph Hungan sebagai Kijara dan Lugina, sementara kalau di Tutur Tinular Lamting berperan sebagai pendekar Lou Shi Shan. Ternyata nih ya Lamting sebelum terjun ke dunia film merupakan atlet Taekwondo yang sudah membawa harum nama bangsa Indonesia. 

Dan Film Saur Sepuh merupakan film pertama yang dia bintangi. Seperti apa sosok Lamting itu. Berikut cuplikan berita yang di ambil dari Bonus Majalah Film No. 056/24 Tahun IV tanggal 20 Agustus - 2 September 1988.

Lelaki 24 tahun kelahiran Bandung ini memang di kenal pendiam. Mulutnya tidak akan bicara kalau orang lain tidak lebih dulu memulai. Ia berkesan dingin. Dan ketika ia kemudian di minta berperan sebagai Patih Lodaya, dari kerajaan Pamotan dalam film "Saur Sepuh Satria Madangkara" yang sedang di garap Imam Tantowi, peran itu memang pas untuknya. Sebab kesan itulah yagn agaknya di harapkan sutradara. 

"Ini film pertama saya. Sebelumnya cuma jadi instruktur (pelatih silat) para pemain saja," ujar Lamting. Taekwondoin DAN II berkulit putih dan bertubuh tinggi ini. Lantas bagaimana rasanya main film?" Lebih ringan dari latihan Tae Kwon Do. Di Taekwondo lebih berat. Capek, karena memutuhkan stamina yang cukup besar. Cuma di film capek menunggu waktu suting. Ia yang membuat saya suka enggak sabar," tutur lelaki yang lahir 17 April 1964 ini. 

Anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan Bapak salam dan nyonya Lise ini, ngakunya enggak tahu kenapa ia diminta main film. "Memang sebelum "Saur Sepuh" saya sudah diminta banyak produser untuk main film. Tapi kesibukan saya di Tae Kwon Do tidak memungkinkan", ujarnya. Di Saur sepuh inipun karena ada waktu lowong. Kalau tidak ya enggak bakalan main film," katanya. 

Sebagai Taekwondoin, Lamting sendiri sudah berkali-kali ikut kejuaraan dan menjadi juara. Tahun 1984,1985 dan 1987 ia keluar sebagai juara nasional di kelasnya. Sedangkan tahun 1986 ia meraih medali perak pada Asian Games di Seoul dan tahun 1987 tampil sebagai juara di Sea Games Jakarta dan meraih Emas. "Sekarang saya sedang menunggu hasil kerjurnas taekwondo. Juaranya nanti akan bertanding dengan saya untuk seleksi ke Olimpiade," ujarnya. "Saya memang tinggal menunggu juara di kelas saya,! katanya lagi. 

"Kalau memungkinkan saya memang akan terus menggeluti dunia film," Ujar Lamting serius.
"Tapi saya tidak akan berhenti jadi Taekwondoin"; tambahnya. 

Perihal namanya sendiri, Lamting mengaku tidak punya nama lain. "Itu nama saya yang asli. Bukan singkatan dan enggak ada embel-embel lainnya. Itu nama saja sejak lahir kok," katanya lagi. 

Cowok pendiam yang suka sendiri ini, ketika disinggung tentang pacar hanya tersenyum. "Belum ada, saya memang belum mau pacaran kok," jawabnya. "Sungguh kalau sekedar teman wanita sih ada, Tapi yang seiur belum, " katanya lagi. 

Tuesday, September 12, 2023

SAUR SEPUH : SATRIA MADANGKARA BAGIAN 13 (TAMAT)

 Sambungan dari Bagian 12

pasukan Pamotan

B
re Wirabhumi sangat sedih mendengar laporan dari medan perang. Sementara Ibu Rajasaduhita Tunggadewi ikut merasakan kesedihan itu. 

"Tidak sangka Bre Tumapel menjalahi janji. Pasukannya justru membantu Majapahit", kata Bre Wirabhumi kecewa.

"Kau melupakan bahwa Bre Tumapel adalah menantu Wikramawardhana?", tanya ibu angkatnya.

"Tapi dia juga keponakanku. Dia seorang raja yang seharusnya menepati setiap janjinya".

Ibu angkat Bre Wirabhumi adalah seorang wanita berhati tabah. Dengan tenang dia mendekati anak angkatnya lalu di peluknya dengan penuh sayang.

"Kamu telah melakukan apa yang kamu yakini sebagai yang paling baik anakku. Selebihnya adalah wewenang para Dwa!", katanya menghibur.

Bre Wirabhumi hanya bisa mengangguk. Dan ibu tua itu menitikkan air matanya. 

Pertempuran masih terus berlangsung. Pasukan Pamotan berhasil di pukul mundur oleh pasukan Majapahit. Panglima Lodaya gugur di medan gperang ketika berhadapan dengan Narapati raden Gajah.

Kematian itu menurunkan semangat tempur pasukan Pamotan. Mereka semakin terdesak. Korban yang berjatuhan semakin banyak. Para penduduk terus mengungsi menyelamatkan harta benda mereka dari amukan perang. 

Diantara para pengungsi nampak Brama Kumbara yang masih terus mencari isteri dan adiknya. suatu saat dia melihat Wangsa dan Jasta diantara para pengungsi itu. 

Brama segera berusaha menangkapnya. Kedua oran gitu menghilang di balik dinding benteng. Tapi Brama terus mengejar hingga berhasil menangkap mereka. 

"Dimana kalian sembunyikan adik dan istriku?"' tanyanya dengan marah.

"Saya tidak tahu! Lasmini yang bawa", sahut Wangsa.

"Dimana Lasmini sekarang?"

"Lari, mungkin ke Tuban

Brama menjadi cemas. Di Tendangnya kedua orang itu sehingga mental. Ternyata Patis Gotawa berhasil membuka ikatan tali yang membelit tubuhnya. Kemudian ia menolong Mantili dan Harnum.

"Kenapa tiba-tiba kita tertawan di sini?", tanya Mantili.

"Kita kena sirep beserta asap pedang setanmu", sahut Harnum.

"Ya ilmu sirep yang cukup tinggi. Saya yakin perempuan itu bukan orang sembarangan", seru Gotawa.

Mereka keluar dari rumah itu. Tentu saja mereka merasa heran karena tidak ada seorangpun yang menjaga. Rembulan bersin? menerangi halaman yang luas.

"Jebakan apalagi ini?Tidak ada seorangpun yang menjaga kita?"tanya Mantili.

"kita harus mencari kakang Brama, mudah-mudahan sang Prab", kata Harnum.

"Kita ke Majapahit saya yakin sang Prabu kesana karena di Pamotan akan selalu di curigai", sahut Patih Gotawa.

Perang kelihatannya sudah mencapai klimaknya. Suatau malam pasukan Pamotan berebutan kembali memasuki gerbang negeri mereka.

Prabu Wirabhumi dengan gugup menaiki kudanya di halaman istana Pamotan. Sebelumnya dia mengajak Ibu angkatnya untuk segera pergi meninggalkan istana. 

"Sebaiknya ibu mengungsi bersama saya, sebentar lagi pasukan Majapahit mengobrak abrik keraton ini", kata Bre Wirabhumi dengan cemas.

Ibu Rajasaduhitatunggadewi menggelengkan kepala sambil terbenyum. Namun demikian airmata menitik membasahi pipinya. 

"Saya takut mereka menyakiti ibu!".

Biarkan aku disini anak anakku, aku ingin menyaksikan bagaimana kehancuran sebuah perang, sahut ibu angkatnya dengan Pasti.

Bre Wirabhumi menyerah. Ibu setengah tua itu mengelus kepala putra angkatnya. Kemudian Bre Wirabhumi menaiki kudanya bersama dengan para tentara yang mengawalnya. Banyak sekali utusan dari Kaisar Yung Lo yang Panik. Mereka bahkan berjaga-jaga kalau pasukan Majapahit bertindak yang tidak mereka inginkan. Sementara itu beberapa pembesar Majapahit menyuruh mereka meninggalkan istana.

"Lebih baik tuan-tuan meninggalkan tempat ini. Tentara Majapahit sudah memasuki perbatasan Pamotan!".

"Kami akan mengurus diri kami sendiri. Terima kasih atas perhatian tuan!" sahut utusan kaisar Yung Lo. 

Lalu salah seroang dari mereka memberitahu bawahannya agar memberitahukan pada wakil Laksamana Cheng Ho di Tet sun dan Tuban.

"Kasih tahu wakil Laksamana, kami terkurung di kedaton timur, Kedaton Barat telah menyerbu!.

"Baik!".

Dua orang prajurit yang merupakan kurir dari utusan Kaisar Yung Lo segera berangkat. Pasukan Majapahit akhirnya memasuki daerah Pamotan. Ibu Rajasaduhitunggadewi menatap tajam dengan penuh kepedihan. Dia menyaksikan bagaimana tentara Pamotan berlari-lari ketakutan di kejar oleh tentara Majapahit. Sementara itu Narapati Raden Gajah memimpin pasukan di atas kudanya dengan gagah berani. 

Pasukan Majapahit membobol pintu gerbang istana. utusan kaisar Yung Lo berusaha menahan serbuan itu. Dengan gagah berani mereka melakukan perlawanan. Tapi karena jumlahnya sangat sedikit mereka berhasil dihancurkan. 

Ibu Rajasaduhitunggadewi menangis pedih tapi ia berusaha berdiri tegar. Tentara-tentara Majapahit mau menghancurkan istana, tapi ibu Tunggadewi berteriak lantang. 

"Jangan hancurkan kedaton ini! Ini rumahku! Aku isteri Bre Matahun Puteri Tunggal Dyah Wiyat Rajadewi, penguasa Daha!"

Aneh, suara ibu tua itu menghentikan pasukan Majapahit yang riuh rendah hendak menghancurkan keraton. Kembali suara Ibu Tunggadewi menggema.

"Yang berperang adalah Bre Wirabumi dengan Wikramawardana!".

Sementara itu Bre Wirabumi bersama enam orang tentara pengawalnya naik sebuah perahu yang di dayung oleh dua orang. Terasa betapa pedih di hati sang Raja untuk meninggalkan kerajaannya yang sedang diamuk oleh musuhnya.

Kepergian Bre Wirabhumi di ketahui oleh pihak Majapahit. Karena itu ketika perahu yang mereka tumpangi melaju ke utara kelihatan ada sebuah perahu lain mendatangi dengan cepat dari belakang.

"Gusti Prabu, ada yang mengejar kita!", seru pengawal.

Bre Wirabhumi kaget tapi dia berusaha menenangkan diri. 

"Kita lawan mereka! Belok! Terjang perahu itu!", perintahnya. 

Ternyata perahu yang mengejarnya adalah perahu Narapati Raden Gajah, Begitu perahu Bre Wirabhumi berbalik Raden Gajah memerintahkan untuk menabrak perahu lawannya. 

Perkelahian terjada diantara mereka. Perahu yang oleng segera terbalik dan penumpangnya tercebur ke sungai. Bre Wirabhumi menghunus keris pusakanya tapi Narapati Raden Gajah lebih tinggi ilmu tempurnya daripada Raja Pamotan itu, Dalam waktu yang tidak terlalu lama dia berhasil memenggal kepala Bre Wirabhumi.

Narapati Raden Gajah segera kembali ke istana dengan membawa kepala Bre Wirabhumi. Para pejabat istana tertegun ketika tangan Narapati Raden Gajah membuka bungkusan kain diatas talam yang sangat indah. Terlihat kepala Bre Wirabhumi. 

Sang Prabu Wikramawardhana tertunduk haru. 

"Kuburkan di desa Lung dan dirikan diatasnya sebuah candi. Sebagai peringatan pada anak cucuku, betapa menyakitkan sebuah perang", Prabu Wikramawardhana memberi perintah. 

Sementara itu Brama Kumbara masih terus berusaha mencari istri dan adiknya. Ia terus mengembara menjelajah pelosok Majapahit dengan mengendarai kudanya. 

Di kejauhan terlihat sayup-sayup keraton Majapahit yang agung dan megah. Brama turun dari kudanya lalu bersuit memanggil sesuatu. 

Tak lama kemudian seekor Rajawali raksasa menukik turun dari udara. Brama menaiki burung kesayangannya. 

"Kita cari Mantili, Gotawa dan Isteriku Harnum ", serunya.

Burung itu berkeok dengan gagah. Kemudian mengepakkan sayapnya yang perkasa dan terbang ke angkasa.


TAMAT


Produksi : PT KANTA INDAH FILM

Produser : Handi Mulyono

Cerita : Niki Kosasih

Skenario/Sutradara : Imam Tantowi

Juru Kamera : Herman Susilo

Penata Artistik : El Badrun

Penyunting Gambar : Yanis Badar

Instruktur Fighting : Robert Santoso


SAUR SEPUH : SATRIA MADANGKARA BAGIAN 12

 Sambungan dari bagian 11

Mantili dan Patih Gotawa

Panglima Lodaya dan pasukannya siap menyerang kubu Majapahit. Di Kejauhan dia melihat kurang lebih seribu infantri pasukan Majapahit.

"Tidak mungkin begitu sedikit", serunya ragu-ragu.

"Dalam tempo singkat kita hanjurkan mereka Gusti Panglima"' sahut Senopati Pendet

"Kita serang sekarang panglima"' Senopati Nara mengajukan usulnya.

Tapi Panglima Lodaya merasa bahwa itu cuma siasat. Dia menyabarkan kedua pemimpin pasukan itu.

"Jangan gegabah!", Panglima Lodaya mengingatkan.

"Kekuatan Majapahit memang sudah hancur! Angkatan perangnya sudah rapuh sepeninggal Gajah Mada!"' seru senopati Pendet.

"Aku takut ini siasat Narapati raden Gajah!", sambung Panglima Lodaya

"Tidak mungkin gusti, seharusnya mereka melakukan gertakan dengan mengerahkan  sehebat mungkin tentara Majapahit", Senopati Nara kembali mengemukakan pendapat. 

"Tapi mustahil angkatan perang negara besar tanpa pasukan berkuda!".

Narapati Raden Gajah dan beberapa orang staf angkatan perangnya bersembunyi di balik batu. Tepat seperti dugaan Pangeran Lodaya mereka tengah melakukan siaat perang.

"Kalau benar seperti laporan penyelidik kita bahwa tentara Pamotan meniru siasat perang Gajah Mada, maka siasat yang kita jalankan pasti berhasil", seru Narapati Raden Gajah. 

"Mudah-mudahan mereka terpancing untuk menyerbu umpan kita", sahut Senopati

"Dan kalau Bre Tumapel benar-benar jadi membantu kita, maka perang ini akan cepat berakhir", kata Narapati Raden Gajah.

Pasukan kecil tentara Majapahit bergerak perlahan tapi pasti mereka membentuk posisi mata tombak yang ketat hingga pasukan Pamotan sempat bertahan. 

Narapati Raden Gajah memberi komando, Peniup trompet membunyikan sangkala dalam nada terntentu. Dari padang ilalang yang sepi muncul pasukan panah mengepung pasukan Pamotan. Panglima Lodaya menjadi kalang kabut. Apalagi pasukan Majapahit menghujadi mereka dengan anak panah. Korban mulai berjatuhan. Senopati Pendet dan Senopati Nara merasa terpukul.

"Cepat arahkan pasukan menyerang ke satu arah, hindarkan tebing-tebing itu", Panglima Lodaya mengatur taktik.

Sementara pertempuran tengah berlangsung Brama sibuk mencari isteri dan adiknya. Dia mendatangi tempat si Mata Setan namun tidak di temukan orang yang dicarinya selain si Mata Setan yang tengah mengobati luka-lukanya.

Brama menjadi semakin geram. Mata Setan diancamnya.

"Dimana persembunyian Lasmini? cepat katakan!".

Dengan wajah yang pucat si mata Setan Menggeleng.

"Saya tidak tahu, mungkin di padepokan Bukit Kalam".

"Dimana itu?".

"Di kaki bukit Tidur!". 

Brama segera berangkat lagi meninggalkan si Mata Setan yang masih ketakutan.

Sementara itu di Padepokan Bukit Kalam, Patih Gotawa, Mantili dan Harnum masih dalam keadaan pingsan. Tubuh mereka di ikat dengan tali yang sangat kuat. Lasmini mendapat kabar bahwa Brama terus mencari-carinya. Wangsa melaporkan.

"Lasmini! Orang Madangkara itu terus mencari kamu! dia dirumah Mata Setan!"

"Lebih baik kalian lari! Satria Madangkara bukan tandingan kita"' seru lasmini sambil melompat turun dari jendela. Ia kemudian kabur dengan kudanya diikuti oleh murid - muridnya.


BERSAMBUNG......

Monday, September 11, 2023

SAUR SEPUH : SATRIA MADANGKARA BAGIAN 11

 Sambungan dari Bagian 10.


Brama terbangun dari tidurnya ketika kupingnya menangkap suara atasp rumah. Patih Gotawa juga mendengar suara itu. Mereka berdua segera mengejar. Ternyata si Mata Setan datang menyambangi mereka untuk membalas dendam. Begitu melihat Brama, Si Mata Setan langsung menyerangnya. Patih Gotawa siap membantu kakaknya. Namun saat itu sebuah senjata rahasia melayang ke arahnya. Namun saat itu sebuah senjata rahasia melayang kearahnya. Untung dengan cepat dia berkelit. Senjata rahasia itu berupa anak panah kecil menancap di dekat pintu. 

Gotawa melompat ke halaman dan Lasmini muncul dari persembunyiannya. Ia langsung menyerang Gotawa. Si Mata Setan mulai terdesak dalam ilmu silatnya. Dia segera mundur beberapa langkah lalu membaca mantera. Matanya tiba-tiba menjadi memerah. Kemudian dengan gerak-gerak mata yang sangat tajam keluarlah dua berkas api menyerang Brama. Tapi api itu sama sekali tak mampu membakar tubuh Brama. 

Mantili dan Harnum terbangun mendengar suara ribut-ribut. Perkelahian antara Gotawa dan lasmini berlangsung semakin seru. Permainan pedang Lasmini benar-benar tangguh. 

"Kakang Gotawa, biar aku yang menghajar perempuan binal ini!", seru Mantili. 

Gotawa melirik Mantili dan saat itu tubuh Mantili sudah melompat masuk arena. Ia menyerang Lasmini dengan pedangnya. 

"Apa mau kamu sebenarnya?" Seru Mantili sambil mendesak Lasmini.

"Membunuh semua musuh tunanganku!" Sahut Lasmini.

"Kamu tidak akan mampu!"'.

Dan Lasmini makin terdesak. Segera dia melompat keatas genteng. Mantili menyusul naik tapi Lasmini lebih dulu menyerang dengan senjata rahasianya. Mantili terpaksa bergulingan menghindari senjata rahasia itu. 

Si Mata Setan tidak mampu menundukkan Brama Kumbara. Ia terus terdesak. 

"Siapa Kamu?" apa hubunganmu dengan perempuan tunangan Tumenggung Bayan?" tanya Brama.

"Lasmini adalah sahabatku! kamu memusuhi Lasmini berarti memusuhiku, Si Mata Setan!".

Selesai berkata dia menyerang kembali dengan mempergunakan jurus-jurus yang berbahaya. Brama menyambutnya dengan ajian Serat Jiwa dalam tingkat yang tidak terlalu tinggi. Pukulan si Mata Setan menjadi susah di tarik. Dari tubuh Brama mengalir daya magnit yang luar biasa sehingga si mata Setan Sulit mencabutnya. Brama tetap tenang sementara si Mata Setan bagai disengat listrik, berteriak kesakitan.

Patih Gotawa terpukau menyaksikan keampuhan ajian itu. 

"Aji Serat Jiwa"' seru Patih Gotawa.

"Tapi bukan tingkat akhir, kakang Brama tidak mau membunuh musuhnya!".

Si Mata Setan kehabisan tenaganya.

"Pulang! Kali ini kau ku ampuni"' seru Brama

Si Mata setan berusaha bangkt tapi terjatuh kembali. Matanya masih menyimpan dendam tapi dia tak berdaya apa apa lagi. Harnum merasa lega menyaksikan kebijaksanaan suaminya. 

Tak lama kemudian terdengar kabar pecahnya perang antara Pamotan dan Majapahit. Suasana hiruk pikuk di perbatasan. Para penduduk mulai mengungsi sementara darah mulai berceceran. Dari luar tembok benteng kerajaan Majapahit, Brama Kumbara, Mantili, Patih Gotawa dan Harnum menyaksikan betapa perkasanya kekuatan tentara Majapahit. Mantili kagum ketika tiga ekor gajah muncul dari gerbang dikendarai oleh Narapati Raden Gajah.

"Majapahit benar-benar perkasa!" seru Mantili.

"Ya! angkatan lautnya juga besar, suatu saat kalian akan kuajak ke Tuban!",sahut Brama Kumbara.

Diantara kesibukan para prajurit dan kepanikan rakyat, Lasmini mengantar guru Tumenggung Bayan yang sudah tua bernama Jagadnata, Mereka diiringi dua orang lagi yaitu saudara seperguruan Tumenggung Bayan yaitu Wangsa dan jasta. 

Mereka tengah mencari Brama Kumbara. Dan akhirnya rombongan keempat orang itu bertemu dengan Brama Kumbara di pinggir hutan di dekat sungai.  Ketika itu Brama sedang mendinginkan mukanya dengan air sungai. Tiba-tiba ia melompat diserang oleh puluhan senjata rahasia. 

"Siapa lagi yang kamu bawa Lasmini", tanyanya begitu mengetahui siapa penyerangnya.

Jagadnata menjawab pertanyaan itu dengan suaranya yang keras karena didukung tenaga dalam.

"Aku mau menuntut balas kematian muridku!".

Orangtua itu langsung menyerang dengan ilmu gelombang pusar bumi ke arah Brama. Lasmini dan kedua murid Jagadnata menyerang Harnum, Gotawa dan Mantili.

Pertempuran berlangsung dengan serunya. Brama agak kewalahan menghadapi ilmu dari Jagadnata. Hantaman dan siku dari jagadnata mengandung tenaga dalam yang kuat. Beberapa kali Brama terjungkal dan untah darah. Tapi jagadnata juga tidak luput dari serangan Brama.

Wangsa dan Jasta, murid jagadnata menyerang Mantili dan Gotawa. Lasmini dengan dibantu muridnya menyerang Harnum. Suatu ketika Mantili dan Gotawa terpental ketika Wangsa dan Jasta menyerang dari balik pohon. Kelihatan mantili tidak di beri kesempatan untuk mengarahkan pedang inti peraknya yang menyilaukan.

Lasmini tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan itu. Mantili marah sekali. Dia mencabut pedangnya yang satu lagi dan ditempelkannya pedang yang berwarna hitam dan menjijikan bentuknya itu. Tiba-tiba dari tempelan kedua pedang itu keluar asap hitam yang makin lama makin tebal hingga memenuhi hutan itu.

Wangsa dan Jasta terbatuk-batuk dan hampir sesak nafas. Pada saat itu Lasmini berlari ke balik pohon dan membaca semacam mantera. Tiba-tiba tubuhnya keluar asap hijau yang merupakan ajian sirep Megananda. Gumpalan asap hijau itu mengenai harnum, Mantili dan Gotawa. Mereka menguap lalu tertidur pulas..n. Brama mencengkeram tubuh Jagadnata dan aliran ajian Serat Jiwa sedang  menjalar ke tubuh Jagadnata. Muka Brama bergetar, darah segar keluar dari mulutnya. Sementara itu Jagadnata pucat pasi, tubuhnya seperti tersengat aliran listrik dan tidak bisa bergerak lagi. Lama kelamaan tubuh itu merubah menjadi putih sama sekali.

Brama berteriak dan memukul tabuh yang putih dengan kedua tangannya  hancur bagaikan onggokan tepung. Ia lalu terduduk dengan napas megap-megap. Kemudian perlahan-lahan dia bangkit dan melihat hasil ajian yang telah di keluarkan. Tubuh yang sudah menjadi tepung itu tinggal separuh. Brama menutupkank kain yang ada di badannya sambil berkata; : 

"Maaf terpaksa kugunakan ajian serat jiwa karena bapak benar-benar hampir membunuhku".

Tiba-tiba Brama teringat keadaan isteri dan adiknya. Dia kembali ketempat perkelahian tapi tidak ada apa-apa. Suasananya sepi mencekam.

Baru saja dia ingin meninggalkan tempat itu salah seorang murid Lasmini yang telah  siuman

menggerakan tubuhnyaa.

"Dimana orang-orang itu?", tanya BramaD

Dengan lemah oran gitu menjawab :

"Guru Lasmni...membawa lari teman...teman tuan".

"Kemana? tanya Brama dengan muka memerah

"Bukit.....kalam...".

Murid Lasmini itu terkulai lemas. Brama nampak cemas.


BERSAMBUNG KE BAGIAN 12

Saturday, August 12, 2023

SAUR SEPUH : SATRIA MADANGKARA BAGIAN 10

Mantili dan Gotawa

 Sambungan dari bagian 9 

Di antara keramaian kota Brama, Mantili, Harnum dan Gotawa sedang berhadapan dengan murid Lasmini yang pernah mengintip perkelahian. Brama membaca surat dari Lasmini lalu ia berkata kepada orang itu. 

"Katakan pada majikanmu, aku pasti datang!", seru Brama tegas. 

"Hamba Permisi!".

Dan anak buah Lasmini segera melompat kembali ke atas kudanya. sementara itu sepasukan tentara Majapahit berbaris melintasi Brama dan ketiga kerabatnya. 

Di suatu tempat di pinggiran hutan Lasmini berdiri mematung sambil berkacak pinggang. Kelihatannya wajahnya yang keras dengan bibirnya yang terkatup rapat. Dia memandang jauh ke depan. Tak lama kemudian Brama dan rombongannya tiba. Brama segera turun dari kudanya sementara Gotawa, Harnum dan Mantili masih tetap diatas kuda mereka. 

Lasmini menurunkan tangannya dan siap mencabut pedangnya. Matanya tetap diam. Brama dengan tenang mendatanginya dengan wajah yang tersenyum arif. Lasmini tiba-tiba menjadi ragu. Nampaknya dia mulai terpikat dengan ketampanan wajah Brama. Mereka sudah berhadapan.

"Maaf aku terpaksa membunuh suamimu!", seru Brama Kumbara.

"Tunanganku!"' Lasmini memprotes

"Ya maaf, karena dia telah membunuh utusan madangkara", 

"Dan sekarang kamupun haus mati!" seru Lasmini dengan marah.

Selesai bicara dia langsung menyerang Brama dengan gencar dan cepat. Tapi bagi Brama serangan itu bukan apa-apa. Kepandaian silat yang masih dalam tingkat menengah, masih jauh dari sebutan ahli apalagi jago. Berkali-kali Brama membuat Lasmini semakin sewot karena serangannya tidak pernah ada yang mengena. Namun diam-diam Lasmini semakin mengagumi Brama. Orangnya tampan, keahlian silatnya luar biasa.

Dalam perkelahian yang nyaris hanya berupa permainan itu Brama terus menjelaskan mengapa Tumenggung Bayan harus di bunuhnya.

"Pacarmu di bunuh bukan karena dendam, nona. Tapi hukuman, dia telah membunuh seorang utusan resmi dari negaraku. "

"Persetan, pokoknya kamu harus mampus!' sahut Lasmini.

Dan sebuah tusukan pedang yang sangat deras nyaris menembus tenggorokan Brama kalau saja dia tidak segera menangkap pedang itu dengan giginya. Lasmini tidak mampu mencabut pedang itu dari gigitan Brama walaupun dia sudah menggunakan seluruh tenaganya. 

Mantili justru kesal melihat adegan itu. 

"Memuakan! Perempuan apa itu, dia bukan sedang berkelahi, gerakannya seperti merangsang birahi lawannya", seru Mantili.

Harnum cuma tersenyum . Dia tahu bahwa suaminya bukan orang yang mudah tergiur oleh rayuan murah seperti itu. 

"Salah kalau dia mau menaklukkan kakang Brama dengan cara seperti itu", sahut Harnum 

Dan memang Lasmini seperti mau menangis dengan sikap yang manja karena tidak mampu mencabut kembali pedangnya. Dan hanya dengan satu sentakan kecil Brama berhasil mematahkan pedang itu. Lasmini kembali marah dan mengamuk membabi buta. Kali ini Brama tidak mau membiarkan perempuan itu bertingkah lebih banyak lagi. Dengan satu pukulan yang tidak terlampau keras tetapi tepat membuat Lasmini melintir kesakitan. 

Sebenarnya bagi seorang yang pernah berlatih silat pukulan seperti itu tidak akan membuat pingsan. Tapi Lasmini mempunyai rencana lain. Dia memegangi dadanya, tubuhnya menjadi limbung lantas jatuh pingsan. Brama segera menolong untuk memberikan bantuan melegakan kembali rongga dadanya yang terkena pukulan tadi. Diangkatnya tubuh Lasmini ke pangkuannya. dan Ketika itulah Lasmini memeluk Brama serta mencoba menciumnya. Tapi Brama mengelak dengan tidak menyinggung perasaan wanita yang dianggapnya aneh itu. 

"Kamu tidak apa apa kan?, tanya Brama. 

Lasmini memandang Brama dengan pandangan wanita yang sedang kasmaran. Brama menyadari itu

"Dadaku tidak apa-apa, tapi hatiku justru berdebar", sahut Lasmini. 

"Luka Dalam?" tanya Brama

"Kamu terlalu mempesona untuk menjadi musuhku!", seru Lasmini. 

"Jangan! Kamu harus tetap membenciku karena aku telah menghukum tunanganmu!"' seru Brama.

Dari Jauh Mantili menangkap gelagat itu. Sebenarnya Harnum juga demikian.

"Kurang ajar! Apa maunya perempuan itu? Kakang Brama, bunuh saja dia!" teriak Mantili

Lasmini tersinggung  mendengar teriakan Mantili. Dia bangkit dari duduknya yang menyandar pada Brama. 

"Siapa dia?", tanyanya

"Adikku dan yang satu lagi adalah istriku"' Brama menerangkan.

Mendengar hal itu Lasmini Langsung berdiri. Mukanya kembali keras dan sorot matanya tajam sekali.

"Suatu saat aku pasti akan membunuhmu! Juga adikmu!", ancam Lasmini. 

"Kamu tidak akan mampu ! Percayalah!", sahut Brama.

"Aku tidak akan sendiri. Aku punya guru, tunanganku, juga punya guru. semua menaruh dendam padamu! Ingat itu!".

Brama tetap tenang. Lalu dengan gesit Lasmini melompat ke atas kudanya dan kemudian melarikan binatang itu cepat sekali. Benar saja, Lasmini langsung menemui si mata setan sahabatnya.

"Dia harus di bunuh!" seru si Mata Setan.

"Juga adiknya dan isterinya! Aku benci mereka!", Lasmini menambahkan. 

"Seluruh kerabatnya kalau perlu akan ku habiskan!"

"Aku yakin, mereka masih berkeliaran di Majapahit."

Sementara itu di sebuah lapangan menjelang malam di adakan upacara pembakaran mayat Tumenggung Bayan. Sebagai seorang berpangkat, upacara pemakaman cukup ramai. Dan puncak acara pembakaran mayat itu adalah saat istrinya yang dengan setia menjalani upacara terjun ke adalm api menyala sesuai dengan kepercayaan pada masa itu untuk membuktikan kesetiaan seorang istri.

Teman-teman seperguruan dan guru dari Tumenggung Bayan juga adir. mereka marah sekali mengetahui Tumenggung Bayan di bunuh oleh Satria dari Madangkara.

"Cari tahu dimana orang Madangkara itu berada!" seru guru Tumenggung Bayan.

"Di Majapahit guru!" salah seorang muridnya menjawab.


BERSAMBUNG..........

Friday, August 11, 2023

SAUR SEPUH : SATRIA MADANGKARA BAGIAN KE 9

Raja Pamotan dan Istrinya

 Lanjutan dari Bagian 8

Seekor kuda dengan cepat berlari diantara ilalang. Penunggangnya menghentikan kuda itu dan mencari-cari seseorang. Dia adalah Tumenggung Bayan. Dari jauh kelihatan di pinggir hutan Brama Kumbara tegak berdiri sementara Harnum dan dua ekor kuda tunggangan mereka berada di belakang raja  Madangkara yang kali itu berpakaian sebagai seorang jawara. 

Segera Tumenggung Bayan melarikan kudanya ke arah Brama. Nampak kegeraman Tumenggung karena dia menganggap gara-gara orang itula di akena damprat Panglima Lodaya. 

Begitu tiba di dekat Brama yang berdiri tenang, Tumenggung Bayan melompat turun dari kudanya. Dengan congkaknya dia berseru kepada Brama Kumbara. 

"Kamu orang Madangkara yang mantangku?". 

"Ya! kamu harus menebus kematian Tumenggung Adiguna", Sahut Brama Kumbara. 

Tumenggung Bayan sangat melecehkan kemampuan Brama apalagi yang nampak di hadapannya bukan seorang yang bertubuh raksasa.

"Sebenarnya anggung aku harus melayani seorang macam kamu", seru Tumenggung Bayan dengan jumawa. 

Harnum kesal sekali melihat tingkah laku Tumenggung yang congkak itu. Tapi Brama masih bersikap tenang. 

"Bagaimana kalau kita mulai?" tantangnya. 

Tumenggung Bayan segera melancarkan serangan yang tidak kepalang tanggung Namun Brama bukan orang sembarangan yang mudah di lecehkan. Dengan tenang tapi cekatan dia menangkis semua serangan itu dengan tangan kosong. 

Brama belum melakukan serangan balasan karena dia memang sengaja memancing emosi lawannya untuk terus menyerang. Brama mengeluarkan jurus silatnya hanya setengah tingkat dibawah keahlian tumenggung Bayan. Tentu saja hal itu membuat Tumenggung jadi semakin semangat untuk menyerangnya. Namun demikian serangan gencar berikutnya hanya mendapatkan tempat tempat kosong jika tidak tertangkis manis oleh Brama. Bahkan kadang-kadang Brama seolah terdesak tapi dengan serakan yang sukar di ikuti mata tangannya mengeluarkan keris yang terselip di pinggang Tumenggung bayan.

Lalu Brama Sengaja melompat jauh dengan keris di tangan. Tumenggung Bayan agak kaget melihat keris yang di pegang Brama mirip kerisnya . Tangannya mengepal ke belakang , ternyata tempat kerisnya kosong. Brama tersenyum polos lalu berkata :

"Maaf keris kamu tadi terjatuh".

Brama melemparkan keris itu kearah tumenggung Bayan yang segera menangkapnya. Lalu dengan gerakan yang sangat sigap dia kembali menyerang Brama. Tapi kali ini Brama tidak mau lagi memberi kesempatan pada sang Tumenggung untuk mendesaknya. Serangan balik dari Brama sulit di duga oleh Tumenggung Bayan. Tiga atau empat kali pukulan tendangan Brama mendarat di tubuhnya. Lalu dengan jurus yang sangat indah Brama menjatuhkan keris pusaka milik sang Tumenggung. 

Hal ini membuat sang tumenggung makin naik pitam. Dia melompat mundur. Matanya merah memancarkan kemarahannya. Tiba-tiba dia membuat gerakan untuk mengeluarkan aji Cadas Ngampar yang telah membuat tumenggung Adiguna gugur. 

Dalam satu serangan pukulan Cadas Ngampar , Brama mengelak dan akibatnya sebuah pohon tumbang dengan batang yang hancur berkeping-keping. Di Jalanan dekat tempat itu Patih Gutawa dan Mantili mendengar ledakan-ledakan yang menggelegar. Segera mereka memacu kuda menuju tempat asal suara yang menggelegar itu. 

"Itu Pasti mereka", teriak Mantili.

Tumenggung Bayan kehabisan nafas karena menggunakan ajian Cadas Ngampar yang sangat menguras tenaga dalamnya. Beberapa batang pohon bertumbangan. Brama masih tetap tenang.

Sekali lagi Tumenggung Bayan mengirimkan pukulan Cadas Ngamparnya. Dan kali ini Brama mendiamkannya. Ternyata ledakan Cadas Ngampar itu tidak mampu menjebol dada Brama Kumbara, Laki-laki itu masih tetap berdiri tegar. 

Tumenggung Bayan melongo. Hanya keturunan Dewa yang mampu menahan ilmu pukulan Cadas Ngampar. 

"Gila"' teriaknya. 

Tapi tumenggung yang jumawa itu tidak putus asa. Tiba-tiba dia bersidekap, matanya terpejam sambil membaca jampi-jampi. Mantili dan Gotawa datang. Mereka langsung bergabung dengan Harnum yang diam-diam merasa cemas menunggui suaminya bertanding mengadu nyawa. 

"Lawan Kakang Brama cukup tangguh, ilmu kedigdayaan yang dimilikinya cuku tinggi", seru Harnum.

"Bunyi ledakan dari pukulan Cadas Ngampar tadi terdengar sampai ke pinggiran bukit", sahut Mantili. 

Tumenggung Bayan membuka matanya lalu tangan yang bersedekap itu mulai meregang. Tiba-tiba tangan itu seperti bercahaya merah dan membara. Harnum melihatnya semakin cemas. Demikian juga dengan Mantili dan Gotawa. Tapi Brama Kumbara masih tetap tenang. Bahkan ia sempat tersenyum.

"ternyata kamu memiliki ajian Cakar Geni, Kamu benar-benar Tumenggung yang hebat, Bayan!".

Bagaikan orang kesurupan Tumenggung Bayan mulai menyerang Brama Kumbara. 

Di balik semak-semak tak jauh dari tempat Mantili berdiri ada seseorang mengintip perkelahian itu. Dia adalah murid Lasmini yang melapor tentang kedatangan Panglima Lodaya pada waktu mendatangi padepokan di Bukit Kalam. Tumenggung Bayan heran karena Cakar Geni yang jika mengenai pohon bisa hangus sama sekali tak mampu melukai Brama Kumbara. Bahkan pada suatu saat Brama menangkap lengan yang membara itu kemudian dengan tenaga dalamnya membuat Ilmu Cakar Geni itu berbalik menyerang Tumenggung Bayan. 

Sang Tumenggung menjerit kepanasan karena tiba-tiba seluruh tubuhnya membara, mengeluarkan asap dan akhirnya terbakar. 

Patih Gotawa, Mantili dan Harnum berdecak kagum. Harnum berlari memeluk suaminya dengan perasaan gembira. Anak buah Lasmini yang mengintip perkelahian itu segera berlari meninggalkan tempat persembunyiannya. 

Brama mengelus rambut istrinya sambil menyaksikan tubuh Tumenggung Bayan yang sudah terbakar oleh ilmunya sendiri. 

Lasmini benar-benar marah ketika ia di lapori mengenai kematian Tumenggung Bayan. Mula-mula dia menunduk dalam sesenggukan tangisnya. Tapi kemudian dia mengangkat kepalanya bangkit berdiri dengan sorot mata berapi -api menahan dendam.

"Aku bersumpah membalas kematian ini! Satria Madangkara harus di bunuh!", serunya dengan tegas.

Malam harinya Brama bersama rombongan beristirahat di pinggir hutan. Api unggun menyala, menghangatkan udara yang dingin. Harnum tidur bersebelahan dengan Mantili  berselimut kain tenun. 

"Kita akan kembali ke Madangkara kakang Brama?" tanya Mantili. 

"Aku ingin melihat akhir dari pertikaian Bre Wirabhumi dengan Prabu Wikramawardhana", sahut Brama Kumbara.

"Kakang Prabu akan melibatkan diri kalau misalnya jadi perang antara Majapahit dan Pamotan?" Harnum ikut bertanya.

Brama menggeleng sambil tersenyum "Tidak Baik orang luar ikut campur", sahutnya.....


Bersambung...............

Wednesday, August 2, 2023

SAUR SEPUH : SATRIA MADANGKARA BAGIAN 8



 Sambungan dari bagian 7


Kegiatan di ibukota Pamotan cukup sibuk. Tentara mondar mandir. Gerobak-gerobak berisi padi berjalan hilir mudik dikawal ketat. Rupanya persiapan persediaan makanan sedang digiatkan menjelang hari penyerangan terhadap Majapahit. Diantara keramaian itu terlihat patih Gotawa dan Mantili dalam penyamaran mereka. 

"Kita harus cari penginapan!", seru Gotawa

"Ya kelihatannya suasananya sudah sama sama panas. Saya tidak sangka ternyata Pamotan cukup besar juga kotanya", sahut Mantili. 

Mereka membelok ke sebuah jalan yang sepi. Tiba-tiba mereka di kejutkan oleh dua orang yang mendarat dengan ringan di belakang mereka. Suara hardikannya cukup mengagetkan. 

"Mau kemana kalian orang-orang Madangkara?"

Gotawa dan Mantili segera berbalik dan sigap mencabut pedang mereka. Tapi kemudian mereka tersenyum lalu pecahlah tawa mereka begitu mengetahui  orang yang menghardik adalah Brama Kumbara bersama Harnum. Mantili memeluk Brama sambil berkata : 

"Kakang sudah sampai sini?"

"Aku sudah mengirim surat pada Prabu Wirabhumi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tumenggung Bayan".

"Kakang Prabu sudah menghadap raja Pamotan? Lalu buat apa menyuruh kami? " tanya Mantili.

"Sabar! Hanya suratku yang kukirim dan besok aku akan tunggu kedatangan Tumenggung Bayan di hutan Tarik", Brama Kumbara memberikan penjelasan. 

"Jadi?", Mantili masih tidak mengerti.

"Kalian ttap harus menghadap Bre Wirabhumi, sesudah itu boleh susul aku di hutan Tarik. Sekarang yang paling penting kita harus cari penginapan", Kata Brama Kumbara.

Sementara itu di padepokan Bukit Kalam banyak pemuda sedang di gembleng ilmu bela diri dengan  jurus-jurus pedang yang di lakukan secara serempak. Dari jauh di gerbang padepokan muncul beberapa orang penunggang kuda. 

Tumenggung Bayan sedang bermesraan dengan Lasmini yang kelihatan amat sensual. Ia tiduran dengan kepala di pangkuan Tumenggung Bayan. 

"Kalau Pamotan berhasil menghancurkan Majapahit, pangkatku pasti di naikkan dan kau akan kubuatkan puri yang indah disini", Tumenggung Bayan mengumbar janji. 

Lasmini menggeleng manja. "Di ibukota kakang Tumenggung! Kakang pikir saya betah tinggal di tempat sepi terpenci seperti ini?Saya minta kakang mendirikan padepokan silat ini hanya untuk membunuh waktu karena kakang jarang mengunjungi saya", Lasmini menjelaskan. 

Sambil berbicara jari jemari tangannya mengelus wajah Tumenggung Bayang membuat Tumenggung muda itu selalu merasa bahagia berada di sisinya. 

"Itu kan karena tugas negara. Percayalah Lasmini! Aku akan buktikan cintaku padamu sesudah perang selesai".

"Dan semua anak buah padepokan bukit Kalam akan membantu pasukan kakang Tumenggung?', Seru Lasmini. 

Romantis sekali Tumenggung Bayang mengelus rambut Lasmini. Ketika itu tiba-tiba terdengar teriakan salas seorang murid padepokan itu.

"Kanjeng Tumenggung.... Paduka Panglima Lodaya datang!"

Buru-buru sekali tumenggung Bayan bangkit. Dia terkejut mendengar kabar itu, Pasti ada berita sangat penting sehingga seorang panglima datang mencari dia. Lasmini juga kaget. Panglima Lodaya masih duduk diatas kudanya. Mukanya keras menampakkan kemarahan yang tertahan. Tumenggung Bayan berlari mendatanginya. 

"Ampun Tuanku Panglima, apa ada tugas untuk saya?, tanya Tumenggung Bayan sambil memberi hormat. 

"Kamu telah melakukan kesalahan besar!" sahut Panglima Lodaya.

"Saya tidak mengerti maksud Panglima?".

"Kamu sudah membunuh utusan Madangkara. Ini bisa mengakibatkan ketersinggungan rajanya. Dan usaha mencari dukungan dari negeri lain akan gagal. Kamu harus bertanggungjawab!" seru Panglima Lodaya dengan tegas. 

Tumenggung Bayan menunduk. Di kejauhan Lasmini menyaksikan kedua pembesar negeri Pamotan itu berbicara. 

"Kamu di tantang oleh salah seorang utusan pribadi Raja Madangkara untuk bertanding kesaktian. Ini tuntutan dari raja Madangkara atas perbuatanmu!" seru panglima Lodaya lagi. 

"Hamba Sanggup Panglima!" sahut tumenggung Bayan

"Harus!" karena kamu adalah Tumenggung Pamotan. 

Panglima Lodaya segera meninggalkan Tumenggung Bayan yang masih termangu. Ia di iringi oleh beberapa orang prajurit Pamotan. Sementara itu murid-murid di padepokan Bukit Kalam masih duduk bersimpuh, sebagaimana kebiasaan kalau menghadapi masalah besar datang.

Di lain pihak Bre Wirabhumi tengah menerima utusan Negeri Madangkara. Bre Wirabhumi membaca surat Lontar yang di ukir indah. Wajahnya berkerut menggambarkan bahwa ia tidak senang dengan bunyi surat yang sedagn di bacanya. 

Patih Gotawa dan Mantili yang duduk di hadapannya maklum akan hal itu. Tapi sebagai duta mereka tampak tenang.  Sementara itu para pembesar kerajaan Pamotan kelihatan tenang. 

"Tidak punya pendirian! katakan pada rajamu, aku butuh ketegasan!' Menjadi sekiti Pamotan atau menjadi musuh !" Aku tidak suka jawaban yang mengambang seperti ini !" seru Bre Wirabhumi. 

Mantili menggigit lidahnya untuk menahan emosinya sedangkan Gotawa tetap tenang. 

"Katakan Sabda ku pada rajamu!", Seru Bre 

"Baik Gusti Prabu! sekarang juga kami mohon pamit," sahut patih Gotawa.

 Kemudian mereka menyembah lalu meninggalkan tempat itu, Bre wirabhumi masih muring-muring. 

"Aku yakin Sumedang Larang dan Tanjung Sengguruh serta Pajajaran akan mendukung kami!" seru Bre Wirabhumi dengan sinar mata yang penuh harap. 


Bersambung......................

Wednesday, May 24, 2023

SAUR SEPUH SATRIA MADANGKARA BAGIAN KE 7

 Lanjutan dari Bagian ke 6



Dari balik rumah penduduk, muncul penunggang kuda yang rupanya hulubalang dari tentara Pamotan yang di tempatkan di desa ini. Dua orang ponggawa mengiringinya dengan berjalan kaki adalah dua orang prajurit yang mencuri kedatangan Mantili dan Gotawa. 

Jalanan sudah sangat sepi, demikian pula rumah Wanoh, sang hulubalang melihat dua ekor kuda ditambat di samping rumah Wanoh. Mereka segera mendekati dan mencurigai apalagi melihat kuda-kuda itu bukan kuda murah. 

"Awasi mereka terus, aku curiga mereka mata-mata!" seru Sang Hulubalang. 

"Baik Den!".

Sekilas kuda hulubalang itu menlintas dengan cepat meninggalkan kedua prajurit itu yang tiba-tiba merasa menjadi sangat penting dengan tugas tersebut. 

Patih Gotawa dan Mantili mengintip dari celah-celah dinding. 

"Mereka mencurigai kita!" seru Gotawa.

"Kita lawan kalau mereka macam-macam!" bisik Mantili.

Patih Gotawa membelai rambut istrinya. Dia tahu watak isterinya yang beringas dan cepat naik darah.

"Jangan sampai tindakan kita jutru mempersulit tugas negara!" seru Gotawa.

"Sekedar memberi pelajaran kan boleh, tidak sampai membunuh. Sebab biasanya ponggawa selalu berlebih-lebihan dalam menjalankan tugas mereka,"

Gotawa hanya tersenyum sementara Mantili menyandarkan tubuhnya ke dada Gotawa yang bidang. Malam itu berlalu tanpa ada sesuatu yang istimewa. 

Penjagaan di batas desa Lung semakin ketat. di atas pohon-pohon besar di dirikan tempat tempat untuk pengintaian dan mengawasi orang-orang yang keluar  masuk desa, terutama yang menuju ke arah Majapahit. Lima orang berjaga di menara pengawas yang unik itu. Tiba-tiba salah seorang diantara mereka melihat sesuatu. Di kejauhan nampak Mantili dan Gotawa sedang mengendarai kudanya. Orang-orang di menara pengawas memberi kode pada orang yang di bawah dengan menarik tali yang dihubungkan dengan genta sapi yang digantung dekat dengan gubuk para tentara penjaga perbatasan berkumpul.

Hulubalang yang menjadi komandan regu segera menyiapkan senjatanya dan menyuruh lima orang anak buahnya mengikuti. Gotawa bersikap tenang meskipun dia melihat enam orang menghadang jalan kudanya. 

"Kalian mau kemana?" tanya hulubalang sambil menahan jalan mereka. 

"Majapahit", sahut Gotawa singkat. 

"Turun!"

Gotawa dan Mantili turun dari kudanya.

"Kalian tahu bahwa Pamotan mau memberontak dari kekuasaan Majapahit? artinya siapapun yang sudah melintas daerah Pamotan dilarang melintas ke Majapahit", seru hulubalang.

"Kenapa kami tidak punya urusan dengan masalah negara kalian. kami pengendara dari kulon yang mau berkelana melihat kemajuan negeri lain".

Hulubalang itu sinis sekali. Matanya yang di takdirkan seperti selalu curiga pada siapapun melirik nyaris menjijikan. 

"Kalian jangan mengira saya bodoh, Kalian pasti utusan dari salah satu negeri di Kulon. Kuda kalian terlalu mahal untuk pengembara".


Sementara itu dengan lancang tanpa permisi beberapa punggawa Pamotan  mau menggeledah buntelan yang menggelantung di pelana kuda. Tentu saja Mantili jadi naik pitam. 

Dengan gerakan yang cepat dia tahan tangan yang mau mengambil buntelan itu dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi punggawa tadi. Tentu saja kejadian itu membuat Hulubalang dan anak buahnya menjadi berang. Sang hulubalang mencabut pedangnya dan berteriak "Bangsat!".

Perkelahian tak bisa di elakkan lagi. Gotawa meladeni Hulubalang sedangkan Mantili dengan enteng menghadapi  lima punggawa. Singkat sekali Mantili menghabisi lawan-lawannya dengan punggung pedangnya hingga lawan-lawannya tidak sampai mati. Orang-orang diatas menara pengawas mau melepaskan anak panah, tapi Mantili dengan sangat cepat telah mencelat keatas dan mendara tepat diatas dahan dekat menara pengawas diatas pohon. 

Tiga dari lima orang di menara pengawas itu terpelanting oleh tendangan Mantili. Sementara Gotawa meladeni hulubalang yang cukup lumayan mempunyai ilmu silat tingkat tinggi. Tapi biar bagaimanapun Gotawa adalah mahapatih yang berpengalaman sehingga hulubalang kewalahan juga menghadapinya. 

Mantili menyerang dengan pedangnya tapi dua orang sisanya segera  menggelayut di akar pohon untuk pindah ke dahan lain sambil berusaha menyelamatkan diri. Mantili menyusul dengan seuah lompatan yang bagaikan terbang dan dengan kilat dia membabat akar tadi sehingga putus. Akibat tubuh-tubuh yang menggelayut ikut terjatuh ke tanah. 

Di pihak lain hulubalang yang terdesak kini terpental oleh tendangan yang menghantam pangkal lengannya. Kesempatan itu di gunakan untuk mengambil senjata rahasia berbentuk keris-keris kecil dan dilemparkan kearah Gotawa. Keris-keris itu menancap di keempat jari Gotawa yang dipakai untuk menangkis. Dengan tenang Gotawa meremas keris-keris itu. 

Hulubalang melongo hingga sebuah tendangan menyambarnya dan membuatnya jatuh pingsan seketika. Sementara itu Mantili masih terus mengejar seorang ponggawa lagi yang masih melayang-layang diatas pohon. Orang itu berhasil turun melewati akar gantung. Tapi baru saja kakinya menginjak bumi, mantili sudah mendarat di sampingnya.  Orang itu terpana dan ketika itulah kepalan tangan kiri Manitli mengistirahatkan punggawa untuk sementara waktu. Mantili mengangkat bahu ketika menerima senyuman dari suaminya

"Terpaksa!" Sahut Mantili manja.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke negeri Majapahit. Tak lama kemudian sampailah mereka di negeri yang di tuju. Dengan diantar dua orang hulubalang Majapahit mereka memasuki Keraton. Prabu Wikramawardana sedang di hadapi oleh Patih Gajah Lembana, Rake Demung, Rake Rangga, Rake Kanuruhan dan Rake Rumenggung. Rupanya keadaan semakin genting. 

Kedatangan Mantili dan Gutawa sedikit mengganggu mereka, tapi ketika mendengar bahwa yang datang adalah Patih dari Madangkara maka sang Prabu melunakkan seri mukanya. 

"Hamba Patih Gotawa utusan dari Madangkara, memberi surat untuk yang maha mulia baginda Prabu Wikramawardana. Maaf kami datang dengan pakaian menyamar! Seru Gotawa. 

Sang Prabu mengangguk dan Gotawa menghaturkan surat dari daun lontar yang di bawanya. Mantili diam-diam mengagumi keindahan istana Majapahit yang tersohor itu, Lantainya nampak terbuat daribatu pualam berwarna putih mengkilat. Kayu-kayu tiang bangunan joglo itu diukir dengan indah, semuanya serba mewah. 

Prabu Wikramawardana berkata : "Aku mengerti sikap raja. Memang persoalan Pamotan adalah masalah keluarga. Sangat bijaksana kalau Prabu Brama Kumbara memilih Majapahit bukan memihak  aku atau siapa. Raja bisa berganti, tapi Majapahit tetap Majapahit!".

"Kami mohon pamit Baginda Prabu!" seru patih Gotawa yang menyadari kedatangannya sedikit mengganggu. 

"Tentunya kalian juga akan ke Pamotan. Mudah-mudahan selamat dan titipkan salamku untuk Prabu Brama Kumbara. Semoga Madangkara tetap aman, makmur dan sejahtera".

"Terima kasih Baginda".

Patih Gotawa dan Mantili menyembah lalu pergi dengan dikawal oleh kedua prajurit Bhayangkari.

Seperginya Mantili dan Gotawa Prabu Wikrama wardana melanjutkan pembicaraanya tentang situasi genting saat ini. 

"Aku yakin Wirabumi gagal dalam mencari dukungan dari negeri-negeri kulon. Tinggal Bre Tumapel yang masih ragu".

"Ampun Gusti prabu, bagaimanapun kita haru slebih cepat bertindak. Sebab terus terang ketika paduka Bre Wengker Sri Wijaya Rajasa menduduki patih Hamengkubumi, beliau telah melakukan tindakan tindakan yang merugikan negara kepada negeri lindungan Majapahit" Gajah lembana Membuka suara. 

"Menghasut mereka untuk melepaskan diri maksudmu?".

"Mungkin tidak terang-terangan. Tapi arahnya kesana. Itu sebabnya beliau  menyusun kekuatan dan pindah dari Wengker ke Pamotan. Bre Wirabumi hanya meneruskan cita-cita itu.

"Memang sebaiknya kita cepat bertindak sebelum Pamotan itu benar-benar siap!"sambung Narapati Raden Gajah. 

Prabu Wikramawardana merenungi nasehat dari semua bawahannya. 

Demikian pula halnya di Pamotan. Malam itu Bre Wirabumi berkumpul di ruang kerja bersama para staffnya. Wirabumi kelihatan  merenung sementara Panglima Lodaya dan beberapa orang staf penasehat menunggu apa yang akan dilakukan Bre Wirabumi.  Ibu Rajasaduhitatunggadewi berjalan membawa tempat sirih yang mengkilap dan duduk di samping  putranya yang sedang merenung. 

"Akhir-akhir ini kamu sering termenung putra prabu. Ibu takut kamu mulai ragu.!" ibu angkat Wirabumi berkata. Bre Wirabumi mencoba tersenyum. "Tidak kanjeng ibu, menentukan waktu ternyata tidak gampang,".

"Asal kamu ingat bahwa keraguan selalu akan menghancurkan !" Ibu angkat wirabibumi memperingatkan. 

"Terima kasih kanjeng ibu!".

Semua tumenggung dan para Narapati cuma diam. Demikian juga ketika ibu setengahbaya itu meninggalkan tempat itu. Prabu Wirabumi menghela nafas. 

Panglima Lodaya kelihatan mulai geisah ingin menyampaikan sesuatu. Hal itu terlihat oleh Bre Wirabumi. Lalu ia memerintahkan stafnya yang sangat dipercaya itu untuk berbicara. 

"Ampun gusti Prabu, Kalau kita harus menunggu kembalinya para utusan dari negeri Majapahit akan mendahului  menyerang Pamotan", Panglima Lodaya menyampikan kekuatirannya. 

Semua yang hadir dengan serius mendengarkan pembicaraan Panglima Lodaya sementara itu Bre Wirabumi nampak tenang sekali meskipun sesungguhnya ketenangan itu hanya untuk menutupi dari kegelisahan hatinya. 

"Dan kalau sampai terjadi terus terang hamba ragu apakah kekuatan Pamotan akan mampu menahan serangan sereka!".

Brewirabumi membenarkan :

"Pendapatmu benar Lodaya! Tapi dukungan dari negeri negeri sahabat juga penting. ini yang membingungkan  pikiranku!" 

Suasana menjadi makin lengang. semua dipaksa untuk berpikir. Ketika itulah sebilah keris kecil melayang dan menancap pada tiang joglo ruang rapat itu. Semua yang hadir terkejut. Mereka menoleh kearah datangnya keris itu. Dua orang prajurit penjaga lari keluar. Panglima Lodaya dan tigak orang lainnya bergerak menuj teritisan pendopo. Tapi di sekeliling halaman itu tetap lengang, tidak ada seorangpun. Tangan Bre Wirabumi mengambil keris yang tertancap dimana ada segulung lontar diikatkan pada hulunya. 

Sambil berjalan menuju ketempat duduknya Bre Wirabumi membuka surat lontar itu. Mukanya sedikit berkerut. 

"Lodaya!" serunya

"Ampun Gusti Prabu!"

Bre Wirabumi melemparkan surat Lontar itu kedepan panglima yang baru saja duduk. 

"Urus bawahanmu!" terdengan Bre Wirabumi berseru hebat. 

Panglima Lodaya agak heran dan kurang enak mendengar nada ucapan rajanya yang agak keras. Dia segera menyembah.

"Ampun Gusti Prabu!"


BERSAMBUNG KE BAGIAN 8

Friday, February 3, 2023

SAUR SEPUH, SATRIA MADANGKARA BAGIAN 6

 Lanjutan dari bagian 5...........


Prabu Brama Kumbara sedang bercengkerama dengan isterinya Harnum

Brama Kumbara sedang duduk di sebuah bangunan berangin-angin di sekitar padepokan di desa Jamparing yang sejuk. Suasana begitu nyaman di alam pegunungan dengan air sungai berbatu serta jeram dan air terjun yang sangat indah. Tapi bertentangan dengan suasana yang tenteram itu malah Brama nampak murka sekali. Dengan suara yang keras dia bertanya : 

"Siapa yang melakukan?" 

Anak buah tumenggung Adiguna yang menyelamatkan surat Brama untuk Raja Majapahit dan Pamotan terlihat masih segar meskipun luka-luka di tubuhnya cukup parah. Senopati Ringkin yang mengantarkan utusan itu ke Jamparing tetap diam. Patih Gootawa menahan geram, terlebih Mantili.

"Ini tidak bisa di biarkan! Orang Pamotan sudah melakukan tindakan sesenang-wenang. Gotawa dan Kamu mantili, Kuberi tugas untuk menggantikan Tumenggung Adiguna. Berikan surat ini pada Prabu Wikramawardana dan Brewirabumi. Ini tugas resmi Madangkara. Sementara pertanggungjawaban Tumenggung Bayan adalah urusanku!".

"Baik kanda Prabu!" sahut Gotawa dan mantili berbarengan. 

"Ringkin! Bawa Bentar dan isteriku Paramitha ke Madangkara, siagakan pasukan kalau sewaktu-waktu di perlukan!".

"Daulat Gusti Prabu!"

Para punggawa Pamotan

Sementara itu di padepokan, Bentar sedang menulis semacam tembang yang di salin dari kitab-kitab daun lontar. Harnum dan Paramita mengagumi kepandaian anak berusia sekitar sembilan tahun dalam ilmu alam. Bentar adalah seorang anak kutu buku. Kulitnya lembut seperti wanita tapi matanya tajam dan jernih yang memancarkan kecerdasan yang luar biasa. 

Suasana semakin lama semakin panas. Desa Lung yang cukup ramai di huni penduduk merupakan sebuah daerah kekuasaan Majapahit yang sangat berdekatan dengan perbatasan. Kelihatan kesibukan berjaga-jaga dari tentara Majapahit mulai meningkat, baik infantri maupun kavaleri mondari mandir. Jika ada yang mencurigakan mereka segera melakukan penggeledahan. 

Suatu siang di pinggir sebuah sungai Patih Gotawa menyimpan pakaian kebesaran di sela-sela batu cadas. Dia bersalin pakaian dengan pakaian pendekar biasa sementara Mantili juga telah mengganti pakaian yang serupa.

"Kita akan lebih leluasa dengan pakaian begini!" seru Patih Gotawa. 

"Tapi jangan menyesal alau tidak seorangpun akan hormat kepada kita!" sahut Mantili. 

"Artinya orang-orang itu sebenarnya cuma menghormati pakaian kita bukan kita. Mereka takut pada pakaian kita, bukan pada Mantili dan Gotawa".

Keduanya lalu kembali menaiki kuda. 

"Masih jauh Majapahit dari sini?" tanya Mantili. 

"Sebelum tengah malam mudah-mudahan kita sudah sampai ke desa Lung. Kita ke Trawulan dulu, menghadap Raja Majapahit, kemudian baru ke Pamotan", sahut Gotawa. 

Kembali kuda mereka berpacu dengan pesatnya. 

Brama Kumbara menanggalkan mahkotanya dan memasukkannya ke dalam peti kayu berukir indah. Demikian juga gelang dan kalung yang merupakan perhiasan kebesaran seorang raja. 

Harnum telah berganti pakaian dengan pakaian seorang pendekar wnaita. Dia masih tetap jelita dengan sebilah pedang yang terselempang melintang di punggungnya. 

"Ini mengingatkan masa-masa pengembaraan kita beberapa tahun lalu!" seru Harnum. 

"Terpaksa harus kita lakukan. Saya tidak melibatkan Madangkara dalam pertikaian Majapahit dengan Pamotan,".

"Kalau kakang Prabu pribadi sebenarnya lebih memihak siapa?". tanya Harnum. 

"Aku terlahir untuk membela yang benar. Tapi untuk mencari yang benar dalam masalah ini sulit sekali,"

"Masing masing pihak akan merasa dirinya benar. Sedang kebenaran harus cuma satu!" Harnum menyambung. 

Brama sudah selesai memakai pakian pendekar, bersenjatakan keris yang tidak terlalu panjang. Sebenarnya ilmu kedigdayaan Brama lebih handal daripada semua ilmu silat yang dia miliki. Mereka segera bergegas meuju ke luar rumah. 

"Itu kenapa Madangkara tidak memihak.!," kata Brama Kumbara sambil bersiap hendak berangkat. 

"Bukan kita tidak punya pendirian. Dalam sebuah pertikaian, lebih baik kita menjadi juru damai. Itu perbuatan paling mulia aku kira!".

Sampai di halaman Brama Kumbara memandang langit. Kemudian dia bersuit memanggil burung Rajawali sahabatnya. Di Langit lepas Rajawali Raksasa itu berkeak-keak menukik. 

Tak lama kemudian rajawali tu turun dengan angin besar menerbangkan daun-daun kering karena kibasan sayapnya. Brama dan Harnum segera menaiki punggung burung raksasa itu. Tak lama kemudian Rajawali mulai terbang dengan sayap berkepak-kepak. 

Seperti Raja Airlangga yang dengan gagah menaiki burung Garuda, maka Brama dan Istrinya Harnum kelihatan perkasa diatas punggung rajawali itu. 

"Dinda Gotawa dan Mantili pasti sudah sampai di Majapahit. Mudah-mudahan mereka tidak mendapatkan kesulitan", kata Brama memikirkan kedua adiknya. 

Dan saat itu kuda Mantili dan Patih Gotawa melintas diantara penduduk serta tentara Pamotan yang sedang menuju ke tempat mereka masing-masing. 

Desa ini cukup maju karena merupakan desa transit. Hal ini disebabkan banyak pedagang rempah-rempah dan hasil bumi menginap di desa itu. Selain itu banyak sekali penduduk yang membuka rumah makan. Desa Lung adalah perbatasan antara Majapahit dan Pamotan. 

Seorang Prajurit kelihatan berbisik-bisik pada temannya setelah melihat Gotawa dan Mantili. Dari agak kejauhan kelihatan Mantili dan Gotawa menanyakan sesuatu kepada salah seorang penduduk. 

Ternyata mereka ingin bermalam di sebuah rumah seseorang bernama Wanoh, kenalan Patih Gotawa beberapa tahun yang lalu. Wanoh gembiera sekali menyambut tamu yang tak  di duga kedatangannya itu. Dengan ramah dia menjamu Gotawa dan Mantili . Mereka duduk diatas tikar anyam dengan pandangan lepas ke halaman belakang yang teduh. 

"Keadaan makin gawat den, kemungkinan perang saudara tidak bisa di elakkan lagi. Tadinya desa ini tidak pernah ada tentara, sekarang ada kira-kira seratu orang tentara Pamotan ditempatkan di sini!", Wanoh Bercerita. 

"Bagaimana sikap bapak?siapa sebenarnya yang salah? Pihak Pamotankah? atau Majapahit?" tanya Mantili.

"Wah......saya tidak mengerti den, rakyat kan hanya menurut apa kata Raja. Sebab apa saja yang dilakukan raja pasti benar. Raja adalah wakil dewa di dunia, maka sudah seharusnya apa yang dilakukan adalah hanya kebenaran" sahut Wanoh. 

"Seharusnya memang begitu, tapi jaman sekarang banyak raja mengkhianati amanat Dewa Jagad Batara, Bahkan mereka merasa menjadi dewa yang berhak melakukan apa saja yang mereka suka!". Gotawa menyatakan pendapatnya. 

"Saya tidak mengerti itu den, saya rakyat, tugas saya cuma patuh pada gusti prabu. Apapun yang di lakukan berliau, pasti punya tanggungjawabnya sendir ipada Sang Pencipta Alam semesta!".

Mantili cuma tersenyum melihat kepolosan Pak Wanoh. Sementara itu Patih Gotawa hanya mengangguk-angguk . Dia merasa bahwa yang tersirat dari ucapan Wanoh adalah sebuah tuntutan maha halus kepada raja untuk berbuat paling benar. 


BERSAMBUNG KE BAGIAN 7

Wednesday, December 28, 2022

SAUR SEPUH, SATRIA MADANGKARA BAGIAN 5





Sambungan dari Bagian ke 4

Tumenggung Adiguna yang muda dan gagah memimpin rombongan sembilan orang berkuda yang memacu kuda mereka dengan pesatnya. Tak lama kemudian mereka telah tiba di perbatasan antara negeri Pamotan dan Majapahit. Di perbatasan itu nampak tanda berupa tapal batas yang terbuat dari batu bata. Di sampingnya terletak batu besar dengan ukiran bertulis yang menyatakan daerah itu merupakan tapal batas antara kedua negeri. 

Cuma ada jalan setapak yang menuju ke daerah Pamotan sebab jalur ini bukan merupakan jalan utama. Tapi pinggiran hutan yang masih cukup lebat dan angker itu terlihat beberapa ekor kuda di tambat sedang makan rumput. Di Tempat itu terlihat Tumenggng Bayan sedang istirahat di bawah pohon. Tiba-tiba seorang anak buahnya berlari-lari menghampirinya. 

Tumenggung Bayan duduk sambil menguap. Dia memasang kembali pedang yang di apakai sebagai pengganjal leher tadi ke pinggangnya. Dengan sigap dia mendengarkan laporan bawahannya. 

"Orang mana?" tanyanya dengan tegas.
"Kurang jelas den, Tapi jelas mereka bukan orang Majapahit!"

Tumenggung Bayan segera bangkit. 
Rombongan tumenggung Adiguna memasuki daerah perbatasan. Tubuh mereka berkeringat dan penuh debu. Rombongan itu di paksa berhenti karena tiba tiba dari semak-semak dan balik poohon besar muncul kira-kira lima puluh orang Pamotan dengan sorot mata yang tidak bersahabat. 

"Kami utusan dari Madangkara, mau ke Pamotan membawa surat Baginda Prabu Brama buat paduka Bre Wirabumi!" seru Tumenggung Adiguna dengan Lantang. 


Tumenggung Bayan menyeruak diantara anak buahnya. Sikapnya lebih tidak bersahabat lagi. Bentakannya membuat Tumenggung Adiguna tersinggung. 

"Turun!" Siapapun yang memasuki wilayah Kedaton Timur harus di geledah!"

Tumenggung Adiguna terpaksa turun dari kudanya. Demikian juga dengan anak buahnya. Tumenggung Bayan mendekati Tumenggung Adiguna. 

"Kamu Pemimpinnya?" Mana surat itu!

"Surat ini untuk rajamu! Kamu tidak berhak memeriksa", sahut Tumenggung Adiguna. 

"Tidak usah macam macam, surat itu aku yang mengantar! sebab sementara kalian harus di periksa dulu, siapa tahu kalian mata-mata Majapahit, atau sekutu Majapahit!" Tumenggung Bayan berkeras 

Tumenggung Adiguna tidak bersedia di perlakukan seperti itu. 

"Tumenggung Adiguna pantang di hina! Rajaku menyuruh aku mengantar surat ini dengan tanganku sendiri!"

Dengan gerak kepalanya Tumenggung Bayan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyerang.

"Paksa!", serunya dengan suara keras.



Perkelahianpun terjadi keadaanya sangat tidak seimbang, nyaris satu melawan lima. Tapi Tumenggung Adiguna adalah orang yang sangat ahli menggunakan pedangnya. Berpuluh kali dia terjun ke medan perang mendampingi rajanya. Maka dalam waktu singkat dia berhasil menewaskan prajurit penjaga dari Pamotan. 

Tapi Tumenggung Bayan juga buan orang sembarangan. Dia benar-benar orang kepercayaan Pamotandan pernah mengikuti pendidikan militer singkat dari perwira perwira utusan Kaisar Yang La. 

Perkelahian terjadi dengan serunya sampai akirnya kedua Tumenggung itu berhadap-hadapan satu sama lain. Keduanya sama-sama sakti dan sama-sama memiliki ilmu berkelahi yang sangat tinggi. Bedanya Tumenggung Bayan memiliki ilmu kedigdayaan. 

Setelah bertarung dengan ilmu keprajuritan, ternyata Tumenggung Adiguna cukup mahir maka Tumenggung Bayan yang jumawa mulai mengelurakan ajian Cadas Ngampar. Sebuah ajian dengan akibat yang sangat fatal kalau sampai mengenai sasaran karena hasil pukulan itu bisa menghancurkan bukit karang sekalipun. 

Tumenggung Bayang melompat mundur beberapa tindak kemudian menempelkan tangan kanannya dengan telapak kiri dalam gerakan yang sangat bertenaga di lontarkannya pukulan ke arah Tumenggung Adiguna yang secara naluriah mengerti akan bahaya pukulan tersebut. Dia segera melompat dan pukulan Cadas Ngampar itu menghancurkan tonggak tapal batas yang berdiri kokoh dari batu bata. 


Tumenggung Adiguna makin hati-hati sementara Tumenggung Bayan makin gencar dengan serangannya. Beberapa pohon tumbang ole pukulan itu karena batangnya hancur. Tumenggung Bayan seperti orang kesurupan. Gerakan-gerakan Tumenggung Adiguna yang lincah berlompatan seperti tupai segera menjadi pemikiran Tumenggung Bayan untuk memberikan pancingan. Sementara itu perkelahian antara anak buah makin tidak seimbang. Orang-orang Madangkara di babat habis, tinggal dua orang lagi yang masih bertahan. 

Ketika itu Tumenggung Bayan memancing seolah-olah dia menyerang lagi dengan ilmunya. Tumenggung Adiguna melompat seperti tupai dan baru ketika itulah Bayan melepas Cadas Ngamparnya sehingga tubuh yang melayang itu meledak, hancur berkeping-keping. Salah seorang anak buah Adiguna yang seungguhnya sudah terluka parah melihat kejadian itu. Dia segera bergulingan menyambar tas terbuat dari kulit yang ikut melayang kemudian dengan gesit melompat ke atas kudanya yang segera di pacu dengan cepat.

Beberapa orang anak buah Tumenggung Bayan hendak mengejar tapi di cegah oleh Tumenggung yang sakti tapi sombong itu.

"Tidak usah! Dia akan mati kehabisan darah! Kuburkan para korban dengan baik, bagaimanapun mereka pahlawan dari negerinya!", perintahnya segera. 

Malam hari di Kaputren Pamotan nampak seorang wanita setengah baya sedang duduk merenung di dekat lampu minyak yang menerangi ruangan itu. Dia adalah ibu angkat Bre Wirabumi yang bernama Rajasaduhitunggadewi. Bre Wirabumi duduk menunggu di dampingi isterinya yang bertubuh gemuk. 

"Tekadmu sudah bulat nak?", tanya Tunggadewi
"Kenapa ibu tanya lagi?".

"Karena tekad itu akan menentukan sebuah perang saudara yang pasti akan menghancurkan trah Narraya Sanggramawijaya. Dendam akan mengalir pada detak-detak jantung para keturunan gugur", Tunggadewi memberi nasehat kepada Bre Wirabumi. 

"Terpaksa hamba lakukan kanjeng ibu, sebab ini masalah hak. Hak yang di berikan secara keliru oleh ayahanda gusti Prabu Hayam Wuruk kepada Wikramawardana", Bre Wirabumi menyahut. 

Ibu angkat Wirabumi hanya menggelengkan kepalanya. Separuh wajahnya yang  sendu tertimpa sinar cahaya lampu. Air matanya menitik perlahan. 

"Ini cuma masalah hawa nafsu. Kamu terpengaruh oleh cita-cita kakekmu Sriwijaya Rajasa sang Apanji Waning Hyun, yang ingin melepaskan diri dari bayangan kekuasaan menantunya sendiri, ayahmu. Itulah sebabnya sang Apanji ayahku mengangkat kamu sebagai anakku untuk meneruskan keinginannya melepaskan diri dari Majapahit,"

Bre Wirabumi terdiam. Rajasaduhitunggadewi bangkit menuju ke jendela dimana di kejauhan terlihat rumah-rumah bangunan istana Pamotan yang telah gelap. 

"Sialnya kemarin aku mimpi buruk sekali",

"Tentang Apa?" tanya Bre Wirabumi

Wajah setengah tua itu berusaha untuk bisa menahan perasaan yang sebenarnya sedang menghancurkan kalbunya. 

"Singgasana Pamotan berlumur darah...."

Bre Wirabumi kaget tapi dia berusaha menenangkan sikapnya. 

"Ibu.... mimpi itu bukan untuk hamba. Banyak negeri yang mendukung Pamotan. Bre Tumapel pun berada di belakang hamba. Dan seperti ibu ketahui Kaisar Yung La dari negeri Cina telah memberikan stempel emas pada hamba. Mereka semua akan berdiri di belakang Pamotan. Percayalah mimpi itu bukan untuk hamba!"

Wajah ibu setengah baya itu kian mendung. Di elusnya rambut Bre Wirabumi. 

"Ibu tidak menghalang-halangi iatmu. Cuma cemas, sebab dalam mata hati ibu perang itu sudah terjadi. Perang yang akan mengguncangkan seluruh bumi Nusantara. Perang Paregreg!.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 6...............................


Monday, December 5, 2022

SAUR SEPUH, SATRIA MADANGKARA BAGIAN 3

 

Mantili dan Patih Gotawa terlibat perkelahian

............LANJUTAN dari Bagian 2

Bangunan-bangunan di komplek istana Madangkara ini hampir menyamai bentuknya dengan keraton di Majapahit dan Pajajaran. Hanya bentuknya lebih kecil dan tidak terlampau mewah. Dua orang penjaga gerbang dalam pakaian keprajuritan Madangkara dengan sikap tegak bersenjatakan tombak, mengawasi beberapa orang yang sedang berjualan di bawah sebatang pohon yang rindang dekat pintu gerbang.

Di balai penghadapan Keraton Madangkara, Sang Prabu Brama Kumbara kelihatan sedang bercengkerama dengan adiknya, Dewi Mantili serta Patih Gutawa yang merupakan suami adiknya dan Harnum permaisurinya. 

Sementara itu beberapa dayang emban dengan penuh pengabdian duduk bersila pada lantai bawah. Empat orang prajurit penjaga keraton berdiri tegak di samping-samping ruang yang berbentuk pendopo agung itu. Sang Prabu duduk di atas singgasana dari kayu berukir indah dengan bantalan kain yang dirajut dengan benang-benang emas sementara mahkota yang dikenakannya tidak terlalu rumit namun indah dan mahal.

"Untuk sementara kamu saya bebaskan dari tugas-tugas kenegaraan dinda patih, gunakan waktu itu untuk bersenang-senang dengan istrimu", Seru Brama Kumbara.

Patih Gotawa senyum menunduk. Sementara Dewi Mantili yang agak tersipu berusaha untuk menutupi perasaanya. Harnum tersenyum melihat keadaan seperti itu. Patih Gotawa dan Mantili adalah sepasang pengantin baru 

"Kami merencanakan mau ke kampung Jamparing kakang Brama, kangen sama Raden Bentar dan kakang Dewi Pramitha", sela Patih Gotawa. 

"Apa cocok untuk pengantin baru?", tanya Brama Kumbara

Patih Gotawa cepat menyahut : "Itu kemauan dinda Mantili gusti Prabu!".

"Mestinya kamu tidak boleh selalu memaksakan kehendak, Mantili.Sekarang kamu adalah seorang istri, bukan lagi Dewi Mantili si Pedang setan yang selalu bertindak seenaknya. Ada orang lain yang jadi pemimpinmu, suamimu!", Brama Kumbara berkata dengan penuh wibawa.

Mantili cuma tersenyum simpul sementara Harnum yang duduk mendampingi sang Prabu juga ikut tersenyum. Kemudian Harnum ikut Bicara : 

"Sebenarnya saya juga  ingin ke Jamparing kakang Prabu, sudah hampir tiga bulan kita belum kesana. Mungkin Nanda Bentar juga sudah kangen sama kakang Prabu, Dinda Paramita mestinya juga begitu."

Brama Kumbara menoleh kepada istrinya sambil tersenyum. 

"Memang akan lebih bijaksana kalau isteri-isteriku berkumpul disini. Kalau saja aku tidak memikirkan pendidikan Bentar, Paramita kuharuskan tinggal di sini. Gotawa....suruh tumenggung Ajisanta menghadap. Dia yang akan mewakili selama kita pergi."

"Baik Gusti Prabu."

Dari luar terlihat Senopati Ringkin masuk dan duduk memberi hormat. 

"Ada apa Senopati", Tanya Brama Kumbara.

"Maaf Gusti Prabu, kami menangkap delapan orang dari Majapahit dan Pamotan yang bertikai di perbatasan Madangkara. Mereka mau menghaturkan surat dari raja mereka masing-masin", Senopati Ringkin segera melaporkan apa yang telah terjadi.

Brama Kumbara agak kurang mengerti mendengar laporan Ringkin yang aneh. Kedatangan utusan dari negara besar seperti Majapahit ke Madangkara benar benar suatu kehormatan. Tapi utusan dari Pamotan yang setau beliau adalah negeri bawahan Majapahit benar-benar mengherankan. 

"Hadapkan pimpinan mereka satu-satu!, serunya segera

"Daulat Gusti!".

Tumenggung Bayan dan Satria Madangkara

Utusan dari Majapahit yang tiga orang memisahkan diri dari lima orang pamotan dimana diantara mereka yang terluka akibat perkelahian. Kedua belah pihak kelihatan saling membenci. Beberapa orang prajurit Madangkara mengawasi mereka. Senopati Ringkin mendatangi kelompok utusan tersebut lalu membawa mereka satu persatu menghadap Brama Kumbara. 

Mantili dan Patih Gotawa menoleh ke arah kedatangan utusan dari Pamotan. Brama Kumbara dengan tenang menyuruh panglima Rowi untuk menyampaikan maksudnya. Panglima Rowi duduk dengan hormat dan mengeluarkan surat yang diserahkan pada Brama Kumbara. 

"Ada pesan dari rajamu?", tanya Brama Kumbara.

"Daulat Gusti, hamba di utus untuk menyampaikan ini!".

Sang Prabu membaca surat itu. Mukanya menjadi keruh. Agak sulit baginya utuk menentukan jawaban. 

"Kamu boleh pulang, saya akan mengutus orang untuk menyampaikan suratku pada Bre Wirabumi!".

"Terima Kasih Gusti, hamba mohon pamit!"; sahut Panglima Rowi sambil mohon diri.

Brama mengangguk arif, Panglima Rowi segera meninggalkan tempat. Mantili benar-benar ingin tahu apa isi surat itu. Segera ia bertanya pada Brama Kumbara.

"Kalau Boleh tahu, apa isi surat itu Kakang Prabu?',

"Sulit untuk menentukan pilihan, Bre Wirabumi meminta dukungan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit", sahut Brama Kumbara.

"Memberontak?", tanya Mantili tak mengerti. 

"Akhirnya akan kesana, sebab tidak mungkin Majapahit akan membiarkan negeri bawahannya berdiri sendiri dan ini akan menjadi malapetaka bagi kerajaan besar itu. 

"Mungkn karena Bre Wirabumi merasa berhak menguasai tahta daripada Wikrama Wardhana", sela Harnum. 

"Saya kurang mengerti, tapi seorang raja agung seperti gusti Dyah Hayam Wuruk tidak mungkin bertindak tanpa pikiran yang matang. Mungkin beliau beranggapan bahwa menantunya justru lebih cerdas dan jujur untuk memimpin sebuah negeri yang maha luas kekuasanya daripada putra lelakinya yang kebetulan lahir dari seorang selir", Brama kumbara mengemukakan pendapatnya.

Tumenggung Bayan dan para pasukannya

Tak lama kemudian utusan dari Majapahit datang dan duduk bersembah. Brama Kumbara menyambutnya dengan senyuman yang bijak. 

"Hamba Hulubalang Ludaka, menghaturkan surat Baginda Prabu Wikramawardhana  yang agung!", seru Hulubalang Ludaka sambil mengingsut mendekati tahta Prabu Brama Kumbara. 

Brama Menerima surat itu dan membukanya. Surat itu di buat dari daun lontar yang ditulis dengan indah.

"Selain ke Madangkara, kemana lagi kamu akan pergi?", tanya Brama Kumbara. 

"Menghubungi semua kerajaan sahabat Majapahit, Hamba akan ke Pajajaran, ke Sumedang Larang, Gunung Singguruh dan ke Malayapati", sahut Hulubalang Ludaka.

Prabu Brama Kumbara Mengangguk.

"Ke negeri-negeri itu utusan dari Pamotanpun akan datang. Kamu boleh meneruskan perjalanan, aku akan mengirim utusan khusus ke Majapahit secepatnya".

"Terima kasih Gusti Prabu, hamba mohon pamit!".

Hulubalang Ludaka bangkit dan meninggalkan tempat. Brama kumbara melirik patih Gotawa.

"Gotawa, Panggil tumenggung Adiguna, dia akan kuutus membawa suratku untuk Pre Pamotan dan Baginda Wikramawardana!".

"Daulat Gusti Prabut!".


BERSAMBUNG KE BAGIAN 4------------------------------------------------



Wednesday, November 30, 2022

SAUR SEPUH, SATRIA MADANGKARA BAGIAN 2



 ..........Sambungan dari Bagian 1


Sebuah tugu yang terbuat dari batu bata dengan bentuk seperti lingga dengan gaya pasundan terlihat menjulang pada dataran di areal pegunungan. Di kejauhan terlihat lima orang penunggang kuda dengan sigap mengendarai kuda tunggangan tercepat pada jaman itu. Mereka berhenti tepat dimana terdapat pertigaan jalan. 

Salah seorang diantara mereka adalah Hulubalang Robi, pemimpin dari lima orang itu. Menilik dari pakaiannya mereka adalah prajurit Pamotan (Kedaton Timur).

"Kita sudah sampai di Madangkara, ini tugu perbatasannya!," seru hulubalang Rowi kepada bawahannya. 

Hulubalang yang berbadan tegap dengan kumis melintang itu menyipitkan matanya melihat ke kejauhan. Dan sayup-sayup terlihat sekelompok bangunan yang merupakan sebuah kota yang tidak terlalu besar namun juga tidak kecil. Bangunan-bangunan rumah dan tembok keliling kerajaan serta gerbangnya terlihat cukup megah. Sementara kelima orang Pamotan itu masih belum beranjak, terdengar suara derap kuda dari arah lain. Mereka lalu menoleh. 

Tiga orang penunggang kuda kelihatan terburu-buru kenuju ke arah mereka. Para penunggang kuda itu sedikit terkejut melihat  adanya lima orang di atas kuda berdiri di hadapan mereka. Dan yang lebih membuat mereka terkejut adalah orang-orang itu mereka kenal sebagai orang Pamotan. Dan ketiga penunggang kuda itu adalah utusan dari Majapahit. Mereka segera menghentikan kudanya. 

Penunggang-penunggang kuda dari Majapahit itu mengerutkan dahi. Salah seoangdari mereka yang bernama hulubang Ludika menjadi geram. 

"Oang-orang Pamotan, mereka pasti utusan Bre Wirabumi untuk mencari dukungan dari kerajaan-krajaan did aerah Kulon!," Seru hulubalng Ludika kepada bawahannya. Lalu dengan kepala yang pasti hulubalang yang tidak kalah gagahnya dengan hluubalang Rowi menyuruh kedua kawannya untuk mengikutinya.  Ketiga ekor kuda itu segera melaju menghampiri ke lima orang Pamotan.

Hulubalang Rowi maklum apa yang akan terjadi. Perlahan-lahan tangannya bergerak membetulkan letak kerisnya. Dengan gaya yang meyakinkan ketiga Penunggang kuda dari Majapahit itu menghentikan kuda mereka. Kaki kuda yang mereka tunggangi melunjak dengan ganas. Dengan tenang Hulubalang Rowi memandangi orang Majapahit itu.

"Mau apa kalian?," tanyanya

"Menghantikan tugas kalian. Serahkan surat-surat itu padaku!," sahut Hulubalang Ludika.

Hulubalang Rowi menatap tajam ke arah Hulubalang Ludika dan kawan-kawannya lalu berkata : 

"Kamu tidak ada hak untuk menghalangi tugas kami, Minggir!,"

Hulubalang Rowi segera menjalankan kudanya. Dengan terpaksa ia menghindar dari halangan ketiga orang Majapahit itu. Tapi tiba-tiba Hulubalang Ludika menyerang dengan tendangan kaki. Tapi denan sigap Rowi menangkis dengan lengannya. Perkelahian terjadi. Mereka slaing melompat dari atas kuda. Dari cara mereka berkelahi nampak jelas bahwa utusan ini adalah orang-orang pilihan di negeri mereka masing-masing. 

Ditengah perkelahian yang terjadi dengan seru, muncul pasukan tentara Madangkara yang di pimpin oleh Senopati Ringkin yang dengan gagah di atas kudanya di dampingi olehbeberapa orang berkuda lainnya. Dibelakang mereka nampak puluhan prajurit berlari-laridengan tombak di tangan. 

Mereka yang sedang berkelahi sedikit terpecahperhatiannya. Senopati Ringkin berteriak keras dari atas kudanya. 

"Hentikan!,".

Tapi perkelahian itu masih saja terjadi. Mereka yang berkelahi nampak tidak mengacuhkan perintah itu. Senopati Ringkin berseru lagi.\:

"Kalian akan kami serang kalau tidak mau berhenti. Ini daerah Madangkara!".

Orang-orang Majapahit dan Pamotan menghentikan perkelahian mereka ketika pasukan bertombak berkeliling mengepung. 

"Kalian kami tahan!", perintah Senopati Ringkin dengan Tegas.


BERSAMBUNG KE BAGIAN 3.................................................