Wednesday, May 24, 2023

SAUR SEPUH SATRIA MADANGKARA BAGIAN KE 7

 Lanjutan dari Bagian ke 6



Dari balik rumah penduduk, muncul penunggang kuda yang rupanya hulubalang dari tentara Pamotan yang di tempatkan di desa ini. Dua orang ponggawa mengiringinya dengan berjalan kaki adalah dua orang prajurit yang mencuri kedatangan Mantili dan Gotawa. 

Jalanan sudah sangat sepi, demikian pula rumah Wanoh, sang hulubalang melihat dua ekor kuda ditambat di samping rumah Wanoh. Mereka segera mendekati dan mencurigai apalagi melihat kuda-kuda itu bukan kuda murah. 

"Awasi mereka terus, aku curiga mereka mata-mata!" seru Sang Hulubalang. 

"Baik Den!".

Sekilas kuda hulubalang itu menlintas dengan cepat meninggalkan kedua prajurit itu yang tiba-tiba merasa menjadi sangat penting dengan tugas tersebut. 

Patih Gotawa dan Mantili mengintip dari celah-celah dinding. 

"Mereka mencurigai kita!" seru Gotawa.

"Kita lawan kalau mereka macam-macam!" bisik Mantili.

Patih Gotawa membelai rambut istrinya. Dia tahu watak isterinya yang beringas dan cepat naik darah.

"Jangan sampai tindakan kita jutru mempersulit tugas negara!" seru Gotawa.

"Sekedar memberi pelajaran kan boleh, tidak sampai membunuh. Sebab biasanya ponggawa selalu berlebih-lebihan dalam menjalankan tugas mereka,"

Gotawa hanya tersenyum sementara Mantili menyandarkan tubuhnya ke dada Gotawa yang bidang. Malam itu berlalu tanpa ada sesuatu yang istimewa. 

Penjagaan di batas desa Lung semakin ketat. di atas pohon-pohon besar di dirikan tempat tempat untuk pengintaian dan mengawasi orang-orang yang keluar  masuk desa, terutama yang menuju ke arah Majapahit. Lima orang berjaga di menara pengawas yang unik itu. Tiba-tiba salah seorang diantara mereka melihat sesuatu. Di kejauhan nampak Mantili dan Gotawa sedang mengendarai kudanya. Orang-orang di menara pengawas memberi kode pada orang yang di bawah dengan menarik tali yang dihubungkan dengan genta sapi yang digantung dekat dengan gubuk para tentara penjaga perbatasan berkumpul.

Hulubalang yang menjadi komandan regu segera menyiapkan senjatanya dan menyuruh lima orang anak buahnya mengikuti. Gotawa bersikap tenang meskipun dia melihat enam orang menghadang jalan kudanya. 

"Kalian mau kemana?" tanya hulubalang sambil menahan jalan mereka. 

"Majapahit", sahut Gotawa singkat. 

"Turun!"

Gotawa dan Mantili turun dari kudanya.

"Kalian tahu bahwa Pamotan mau memberontak dari kekuasaan Majapahit? artinya siapapun yang sudah melintas daerah Pamotan dilarang melintas ke Majapahit", seru hulubalang.

"Kenapa kami tidak punya urusan dengan masalah negara kalian. kami pengendara dari kulon yang mau berkelana melihat kemajuan negeri lain".

Hulubalang itu sinis sekali. Matanya yang di takdirkan seperti selalu curiga pada siapapun melirik nyaris menjijikan. 

"Kalian jangan mengira saya bodoh, Kalian pasti utusan dari salah satu negeri di Kulon. Kuda kalian terlalu mahal untuk pengembara".


Sementara itu dengan lancang tanpa permisi beberapa punggawa Pamotan  mau menggeledah buntelan yang menggelantung di pelana kuda. Tentu saja Mantili jadi naik pitam. 

Dengan gerakan yang cepat dia tahan tangan yang mau mengambil buntelan itu dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi punggawa tadi. Tentu saja kejadian itu membuat Hulubalang dan anak buahnya menjadi berang. Sang hulubalang mencabut pedangnya dan berteriak "Bangsat!".

Perkelahian tak bisa di elakkan lagi. Gotawa meladeni Hulubalang sedangkan Mantili dengan enteng menghadapi  lima punggawa. Singkat sekali Mantili menghabisi lawan-lawannya dengan punggung pedangnya hingga lawan-lawannya tidak sampai mati. Orang-orang diatas menara pengawas mau melepaskan anak panah, tapi Mantili dengan sangat cepat telah mencelat keatas dan mendara tepat diatas dahan dekat menara pengawas diatas pohon. 

Tiga dari lima orang di menara pengawas itu terpelanting oleh tendangan Mantili. Sementara Gotawa meladeni hulubalang yang cukup lumayan mempunyai ilmu silat tingkat tinggi. Tapi biar bagaimanapun Gotawa adalah mahapatih yang berpengalaman sehingga hulubalang kewalahan juga menghadapinya. 

Mantili menyerang dengan pedangnya tapi dua orang sisanya segera  menggelayut di akar pohon untuk pindah ke dahan lain sambil berusaha menyelamatkan diri. Mantili menyusul dengan seuah lompatan yang bagaikan terbang dan dengan kilat dia membabat akar tadi sehingga putus. Akibat tubuh-tubuh yang menggelayut ikut terjatuh ke tanah. 

Di pihak lain hulubalang yang terdesak kini terpental oleh tendangan yang menghantam pangkal lengannya. Kesempatan itu di gunakan untuk mengambil senjata rahasia berbentuk keris-keris kecil dan dilemparkan kearah Gotawa. Keris-keris itu menancap di keempat jari Gotawa yang dipakai untuk menangkis. Dengan tenang Gotawa meremas keris-keris itu. 

Hulubalang melongo hingga sebuah tendangan menyambarnya dan membuatnya jatuh pingsan seketika. Sementara itu Mantili masih terus mengejar seorang ponggawa lagi yang masih melayang-layang diatas pohon. Orang itu berhasil turun melewati akar gantung. Tapi baru saja kakinya menginjak bumi, mantili sudah mendarat di sampingnya.  Orang itu terpana dan ketika itulah kepalan tangan kiri Manitli mengistirahatkan punggawa untuk sementara waktu. Mantili mengangkat bahu ketika menerima senyuman dari suaminya

"Terpaksa!" Sahut Mantili manja.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke negeri Majapahit. Tak lama kemudian sampailah mereka di negeri yang di tuju. Dengan diantar dua orang hulubalang Majapahit mereka memasuki Keraton. Prabu Wikramawardana sedang di hadapi oleh Patih Gajah Lembana, Rake Demung, Rake Rangga, Rake Kanuruhan dan Rake Rumenggung. Rupanya keadaan semakin genting. 

Kedatangan Mantili dan Gutawa sedikit mengganggu mereka, tapi ketika mendengar bahwa yang datang adalah Patih dari Madangkara maka sang Prabu melunakkan seri mukanya. 

"Hamba Patih Gotawa utusan dari Madangkara, memberi surat untuk yang maha mulia baginda Prabu Wikramawardana. Maaf kami datang dengan pakaian menyamar! Seru Gotawa. 

Sang Prabu mengangguk dan Gotawa menghaturkan surat dari daun lontar yang di bawanya. Mantili diam-diam mengagumi keindahan istana Majapahit yang tersohor itu, Lantainya nampak terbuat daribatu pualam berwarna putih mengkilat. Kayu-kayu tiang bangunan joglo itu diukir dengan indah, semuanya serba mewah. 

Prabu Wikramawardana berkata : "Aku mengerti sikap raja. Memang persoalan Pamotan adalah masalah keluarga. Sangat bijaksana kalau Prabu Brama Kumbara memilih Majapahit bukan memihak  aku atau siapa. Raja bisa berganti, tapi Majapahit tetap Majapahit!".

"Kami mohon pamit Baginda Prabu!" seru patih Gotawa yang menyadari kedatangannya sedikit mengganggu. 

"Tentunya kalian juga akan ke Pamotan. Mudah-mudahan selamat dan titipkan salamku untuk Prabu Brama Kumbara. Semoga Madangkara tetap aman, makmur dan sejahtera".

"Terima kasih Baginda".

Patih Gotawa dan Mantili menyembah lalu pergi dengan dikawal oleh kedua prajurit Bhayangkari.

Seperginya Mantili dan Gotawa Prabu Wikrama wardana melanjutkan pembicaraanya tentang situasi genting saat ini. 

"Aku yakin Wirabumi gagal dalam mencari dukungan dari negeri-negeri kulon. Tinggal Bre Tumapel yang masih ragu".

"Ampun Gusti prabu, bagaimanapun kita haru slebih cepat bertindak. Sebab terus terang ketika paduka Bre Wengker Sri Wijaya Rajasa menduduki patih Hamengkubumi, beliau telah melakukan tindakan tindakan yang merugikan negara kepada negeri lindungan Majapahit" Gajah lembana Membuka suara. 

"Menghasut mereka untuk melepaskan diri maksudmu?".

"Mungkin tidak terang-terangan. Tapi arahnya kesana. Itu sebabnya beliau  menyusun kekuatan dan pindah dari Wengker ke Pamotan. Bre Wirabumi hanya meneruskan cita-cita itu.

"Memang sebaiknya kita cepat bertindak sebelum Pamotan itu benar-benar siap!"sambung Narapati Raden Gajah. 

Prabu Wikramawardana merenungi nasehat dari semua bawahannya. 

Demikian pula halnya di Pamotan. Malam itu Bre Wirabumi berkumpul di ruang kerja bersama para staffnya. Wirabumi kelihatan  merenung sementara Panglima Lodaya dan beberapa orang staf penasehat menunggu apa yang akan dilakukan Bre Wirabumi.  Ibu Rajasaduhitatunggadewi berjalan membawa tempat sirih yang mengkilap dan duduk di samping  putranya yang sedang merenung. 

"Akhir-akhir ini kamu sering termenung putra prabu. Ibu takut kamu mulai ragu.!" ibu angkat Wirabumi berkata. Bre Wirabumi mencoba tersenyum. "Tidak kanjeng ibu, menentukan waktu ternyata tidak gampang,".

"Asal kamu ingat bahwa keraguan selalu akan menghancurkan !" Ibu angkat wirabibumi memperingatkan. 

"Terima kasih kanjeng ibu!".

Semua tumenggung dan para Narapati cuma diam. Demikian juga ketika ibu setengahbaya itu meninggalkan tempat itu. Prabu Wirabumi menghela nafas. 

Panglima Lodaya kelihatan mulai geisah ingin menyampaikan sesuatu. Hal itu terlihat oleh Bre Wirabumi. Lalu ia memerintahkan stafnya yang sangat dipercaya itu untuk berbicara. 

"Ampun gusti Prabu, Kalau kita harus menunggu kembalinya para utusan dari negeri Majapahit akan mendahului  menyerang Pamotan", Panglima Lodaya menyampikan kekuatirannya. 

Semua yang hadir dengan serius mendengarkan pembicaraan Panglima Lodaya sementara itu Bre Wirabumi nampak tenang sekali meskipun sesungguhnya ketenangan itu hanya untuk menutupi dari kegelisahan hatinya. 

"Dan kalau sampai terjadi terus terang hamba ragu apakah kekuatan Pamotan akan mampu menahan serangan sereka!".

Brewirabumi membenarkan :

"Pendapatmu benar Lodaya! Tapi dukungan dari negeri negeri sahabat juga penting. ini yang membingungkan  pikiranku!" 

Suasana menjadi makin lengang. semua dipaksa untuk berpikir. Ketika itulah sebilah keris kecil melayang dan menancap pada tiang joglo ruang rapat itu. Semua yang hadir terkejut. Mereka menoleh kearah datangnya keris itu. Dua orang prajurit penjaga lari keluar. Panglima Lodaya dan tigak orang lainnya bergerak menuj teritisan pendopo. Tapi di sekeliling halaman itu tetap lengang, tidak ada seorangpun. Tangan Bre Wirabumi mengambil keris yang tertancap dimana ada segulung lontar diikatkan pada hulunya. 

Sambil berjalan menuju ketempat duduknya Bre Wirabumi membuka surat lontar itu. Mukanya sedikit berkerut. 

"Lodaya!" serunya

"Ampun Gusti Prabu!"

Bre Wirabumi melemparkan surat Lontar itu kedepan panglima yang baru saja duduk. 

"Urus bawahanmu!" terdengan Bre Wirabumi berseru hebat. 

Panglima Lodaya agak heran dan kurang enak mendengar nada ucapan rajanya yang agak keras. Dia segera menyembah.

"Ampun Gusti Prabu!"


BERSAMBUNG KE BAGIAN 8