Friday, February 3, 2023

SAUR SEPUH, SATRIA MADANGKARA BAGIAN 6

 Lanjutan dari bagian 5...........


Prabu Brama Kumbara sedang bercengkerama dengan isterinya Harnum

Brama Kumbara sedang duduk di sebuah bangunan berangin-angin di sekitar padepokan di desa Jamparing yang sejuk. Suasana begitu nyaman di alam pegunungan dengan air sungai berbatu serta jeram dan air terjun yang sangat indah. Tapi bertentangan dengan suasana yang tenteram itu malah Brama nampak murka sekali. Dengan suara yang keras dia bertanya : 

"Siapa yang melakukan?" 

Anak buah tumenggung Adiguna yang menyelamatkan surat Brama untuk Raja Majapahit dan Pamotan terlihat masih segar meskipun luka-luka di tubuhnya cukup parah. Senopati Ringkin yang mengantarkan utusan itu ke Jamparing tetap diam. Patih Gootawa menahan geram, terlebih Mantili.

"Ini tidak bisa di biarkan! Orang Pamotan sudah melakukan tindakan sesenang-wenang. Gotawa dan Kamu mantili, Kuberi tugas untuk menggantikan Tumenggung Adiguna. Berikan surat ini pada Prabu Wikramawardana dan Brewirabumi. Ini tugas resmi Madangkara. Sementara pertanggungjawaban Tumenggung Bayan adalah urusanku!".

"Baik kanda Prabu!" sahut Gotawa dan mantili berbarengan. 

"Ringkin! Bawa Bentar dan isteriku Paramitha ke Madangkara, siagakan pasukan kalau sewaktu-waktu di perlukan!".

"Daulat Gusti Prabu!"

Para punggawa Pamotan

Sementara itu di padepokan, Bentar sedang menulis semacam tembang yang di salin dari kitab-kitab daun lontar. Harnum dan Paramita mengagumi kepandaian anak berusia sekitar sembilan tahun dalam ilmu alam. Bentar adalah seorang anak kutu buku. Kulitnya lembut seperti wanita tapi matanya tajam dan jernih yang memancarkan kecerdasan yang luar biasa. 

Suasana semakin lama semakin panas. Desa Lung yang cukup ramai di huni penduduk merupakan sebuah daerah kekuasaan Majapahit yang sangat berdekatan dengan perbatasan. Kelihatan kesibukan berjaga-jaga dari tentara Majapahit mulai meningkat, baik infantri maupun kavaleri mondari mandir. Jika ada yang mencurigakan mereka segera melakukan penggeledahan. 

Suatu siang di pinggir sebuah sungai Patih Gotawa menyimpan pakaian kebesaran di sela-sela batu cadas. Dia bersalin pakaian dengan pakaian pendekar biasa sementara Mantili juga telah mengganti pakaian yang serupa.

"Kita akan lebih leluasa dengan pakaian begini!" seru Patih Gotawa. 

"Tapi jangan menyesal alau tidak seorangpun akan hormat kepada kita!" sahut Mantili. 

"Artinya orang-orang itu sebenarnya cuma menghormati pakaian kita bukan kita. Mereka takut pada pakaian kita, bukan pada Mantili dan Gotawa".

Keduanya lalu kembali menaiki kuda. 

"Masih jauh Majapahit dari sini?" tanya Mantili. 

"Sebelum tengah malam mudah-mudahan kita sudah sampai ke desa Lung. Kita ke Trawulan dulu, menghadap Raja Majapahit, kemudian baru ke Pamotan", sahut Gotawa. 

Kembali kuda mereka berpacu dengan pesatnya. 

Brama Kumbara menanggalkan mahkotanya dan memasukkannya ke dalam peti kayu berukir indah. Demikian juga gelang dan kalung yang merupakan perhiasan kebesaran seorang raja. 

Harnum telah berganti pakaian dengan pakaian seorang pendekar wnaita. Dia masih tetap jelita dengan sebilah pedang yang terselempang melintang di punggungnya. 

"Ini mengingatkan masa-masa pengembaraan kita beberapa tahun lalu!" seru Harnum. 

"Terpaksa harus kita lakukan. Saya tidak melibatkan Madangkara dalam pertikaian Majapahit dengan Pamotan,".

"Kalau kakang Prabu pribadi sebenarnya lebih memihak siapa?". tanya Harnum. 

"Aku terlahir untuk membela yang benar. Tapi untuk mencari yang benar dalam masalah ini sulit sekali,"

"Masing masing pihak akan merasa dirinya benar. Sedang kebenaran harus cuma satu!" Harnum menyambung. 

Brama sudah selesai memakai pakian pendekar, bersenjatakan keris yang tidak terlalu panjang. Sebenarnya ilmu kedigdayaan Brama lebih handal daripada semua ilmu silat yang dia miliki. Mereka segera bergegas meuju ke luar rumah. 

"Itu kenapa Madangkara tidak memihak.!," kata Brama Kumbara sambil bersiap hendak berangkat. 

"Bukan kita tidak punya pendirian. Dalam sebuah pertikaian, lebih baik kita menjadi juru damai. Itu perbuatan paling mulia aku kira!".

Sampai di halaman Brama Kumbara memandang langit. Kemudian dia bersuit memanggil burung Rajawali sahabatnya. Di Langit lepas Rajawali Raksasa itu berkeak-keak menukik. 

Tak lama kemudian rajawali tu turun dengan angin besar menerbangkan daun-daun kering karena kibasan sayapnya. Brama dan Harnum segera menaiki punggung burung raksasa itu. Tak lama kemudian Rajawali mulai terbang dengan sayap berkepak-kepak. 

Seperti Raja Airlangga yang dengan gagah menaiki burung Garuda, maka Brama dan Istrinya Harnum kelihatan perkasa diatas punggung rajawali itu. 

"Dinda Gotawa dan Mantili pasti sudah sampai di Majapahit. Mudah-mudahan mereka tidak mendapatkan kesulitan", kata Brama memikirkan kedua adiknya. 

Dan saat itu kuda Mantili dan Patih Gotawa melintas diantara penduduk serta tentara Pamotan yang sedang menuju ke tempat mereka masing-masing. 

Desa ini cukup maju karena merupakan desa transit. Hal ini disebabkan banyak pedagang rempah-rempah dan hasil bumi menginap di desa itu. Selain itu banyak sekali penduduk yang membuka rumah makan. Desa Lung adalah perbatasan antara Majapahit dan Pamotan. 

Seorang Prajurit kelihatan berbisik-bisik pada temannya setelah melihat Gotawa dan Mantili. Dari agak kejauhan kelihatan Mantili dan Gotawa menanyakan sesuatu kepada salah seorang penduduk. 

Ternyata mereka ingin bermalam di sebuah rumah seseorang bernama Wanoh, kenalan Patih Gotawa beberapa tahun yang lalu. Wanoh gembiera sekali menyambut tamu yang tak  di duga kedatangannya itu. Dengan ramah dia menjamu Gotawa dan Mantili . Mereka duduk diatas tikar anyam dengan pandangan lepas ke halaman belakang yang teduh. 

"Keadaan makin gawat den, kemungkinan perang saudara tidak bisa di elakkan lagi. Tadinya desa ini tidak pernah ada tentara, sekarang ada kira-kira seratu orang tentara Pamotan ditempatkan di sini!", Wanoh Bercerita. 

"Bagaimana sikap bapak?siapa sebenarnya yang salah? Pihak Pamotankah? atau Majapahit?" tanya Mantili.

"Wah......saya tidak mengerti den, rakyat kan hanya menurut apa kata Raja. Sebab apa saja yang dilakukan raja pasti benar. Raja adalah wakil dewa di dunia, maka sudah seharusnya apa yang dilakukan adalah hanya kebenaran" sahut Wanoh. 

"Seharusnya memang begitu, tapi jaman sekarang banyak raja mengkhianati amanat Dewa Jagad Batara, Bahkan mereka merasa menjadi dewa yang berhak melakukan apa saja yang mereka suka!". Gotawa menyatakan pendapatnya. 

"Saya tidak mengerti itu den, saya rakyat, tugas saya cuma patuh pada gusti prabu. Apapun yang di lakukan berliau, pasti punya tanggungjawabnya sendir ipada Sang Pencipta Alam semesta!".

Mantili cuma tersenyum melihat kepolosan Pak Wanoh. Sementara itu Patih Gotawa hanya mengangguk-angguk . Dia merasa bahwa yang tersirat dari ucapan Wanoh adalah sebuah tuntutan maha halus kepada raja untuk berbuat paling benar. 


BERSAMBUNG KE BAGIAN 7