Saturday, January 6, 2024

LOKASI SYUTING SAUR SEPUH 1 SATRIA MADANGKARA DAN CERITA DI BALIKNYA - BAGIAN 2 (SELESAI)

 

Syuting di Pangandaran

Dalam tulisan sebelumnya Klik Disini, lokasi suting Saur sepuh berada di Sumba, selanjutnya adalah liputan syuting di tempat lain. 

2. Lokasi Syuting Saur Sepuh di Pangandaran, Dari Peperangan di Laut Sampai Pembakaran Mayat

Syuting di Pangandaran tak kalah serunya dengan di Sumba. Sebab di kawasan Hutan Lindung dan Areal Pariwisata ini, seluruh pemeran utama dan pembantu tampil. Adegan-adegan penuh trik (tipuan) pun merupakan tontonan tersendiri. 

Adegan yang paling menarik adalah perang tanding antara dua putri cantik, Mantili dan Lasmini (diperankan oleh Murtisaridewi). Uniknya, Elly Ermawati pemeran Mantili sama sekali tak mau digantikan oleh stand in (pemeran pengganti) walaupun dia harus melakukan adegan-adegan berbahaya. Untuk adegan terbang ke atas pohon misalnya, tubuh Elly di ikat dengan kawat baja sedemikian rupa, lantas dikerek keatas pohon. Bahkan dia juga diayun-ayunkan keberbagai jurusan sesuai dengan arah gerak silatnya. Adegan berbahaya itu perlu di ulangi beberapa kali untuk mendapatkan hasil terbaik. 

"Elly memang berani dan cepat menguasai keadaan," bisik Tantowi. "Padahal saya sendiri mungkin takut melakukan adegan itu", lanjutnya tertawa.

Peristiwa lucu terjadi ketika Mantili dan Lasmini bertempur menggunakan pedang. Baru saja pedang diambil Lasmini, langsung patah. Dua pemain yang sudah pasang aksi serius itu jadi terpana, lantas tawa pun meledak. Syuting terpaksa break sebentar menunggu diambilnya pedang pengganti yang lebih canggih. 

Adegan perang tanding antara Brama Kumbara melawan si Mata Setan pun tak kalah serunya. Ada kilatan cahaya ledakan mercon, asap berwarna warni, pohon-pohon tumbang dan sebagainya. Semua itu dikerjakan dengan trik-trik yang dirancang oleh ahlinya yakni El Badrun dan kawan-kawan. 

Ada kecelakaan kecil ketika berlangsung adegan perang tanding antara Brama dan Jagatnata. Brama mengeluarkan ajian andalannya "Serat Jiwa", lantas meremas tubuh Jagatnata sampai hancur jadi debu. Untuk itu telah di persiapkan boneka yang dibuat persis dengan tubuh Jagatnata. Bahannya fiberglass. Ketika Brama meremas tubuh buatan itu, Fendy (Pemeran Brama) meringis kesakitan. Tangannya berdarah terkena goresan fiberglass. Awak filmpun panik sebentar merawat tangan yang terluka. Ketika akhirnya Fendy tersenyum sambil bilang "Nggak apa-apa kok, Kita teruskan,", semuanya pun lega. 

Yang lucu mungkin adegan Lasmini berpacaran dengan Tumenggung Bayan. Akting Baron Hermanto yang memerankan Bayan tak ada masalah. Yang repot justru mengatur Murti pemeran Lasmini. Dia tampak kaku, kikuk dan berkesan dingin. Tokoh Lasmini harusnya agresif, sensual. Padahal ketika melakukan adegan perang tanding, Lasmini tampak gagah perkasa. Usut punya usut, Murti akhirnya mengaku.

"Habis saya kan nggak pernah pacaran. Jadi, belum tahu bagaimana caranya," katanya lirih. Tentu saja jawaban itu membuat sutradara dan awak film lainnya tertawa geli. Setelah latihan berulang kali Murti akhirnya dianggap bisa melakukan adegan mesra. Uniknya selama latihan sampai pengambilan gambar, kedua sejoli itu tetap berpelukan. Bukan karena bandel, alasan mereka "Kalau kami melepaskan diri, buyarlah konsentrasi." Yang terang sejak itu, Murti dan Baron sering di goda oleh rekan-rekan mereka. Lebih-lebih ketika adegan Lasmini mencium Brama di batalkan. Fendy tentu saja menyesal.

"Mas Towi, Adegan ciuman di jadiin dong. Kalau nggak, ya latihan saja cukup deh, " ujar Fendy dengan maksud menggoda Murti. Memang diantara ketegangan seringkali canda ria mewarnai suasana Syuting.

Di Pangandaran penduduk setempat pun mendapat bagian menjadi figuran. Terutama untuk adegan peperangan di laut. Untuk itu, di kerahkan puluhan perahu yang di hias menjadi kapal perang. Itu artinya, para nelayan setempatlah yang mendapat prioritas menjadi prajurit-prajurit pengemudi kapal tersebut. 

Adegan lain yang membutuhkan banyak figuran adalah saat pembakaran mayat Tumenggung Bayan. Enam puluh orang penduduk setempat di kerahkan menjadi prajurit dan penduduk kerajaan Pamotan. Mayat Tumenggung Bayan yang di buat dari boneka di bakar diatas api unggun yang besar. Istri Tumenggung Bayan ikut "mati labuh geni" terjun dari panggung setinggi 7 meter, ke dalam kobaran api. Tentu saja yang masuk ke dalam api cuma boneka buatan. Adegan yang mencekam ini menjadi perhatian besar masyarakat setempat. Mereka berduyun-duyun datang. Suasana pun seperti Pasar Malam. Banyak pedagang berjualan makanan di sekitar lokasi syuting. Apalagi malam itu udara cerah di terangi sinar bulan. 

Memang selama syuting di Pangandaran penonton tak pernah sepi. Mereka berteriak kaget bila terdengar ledakan mercon atau melihat kepulan asap yang mewarnai udara. Merekapun bertepuk tangan riuh bila adegan-adegan berbahaya terselesaikan dengan selamat. Para pedagang makanan dan jurufoto amatirpun laris. Sebab penduduk beramai-ramai minta foto bersama artis-artis pendukung film, lewat kamera polaroid sekali jepret langsung jadi. Kalau nasib lagi baik, para pedagang atau tukang foto itu juga kebagian peran figuran. Honor Rp. 5.000,00 sehari dianggap cukup lumayan. Turis-turis asing yang berkeliaran di arena wisata pun terheran-heran melihat keriuhan syuting. Mungkin baru kali itu mereka menonton orang Indonesia bikin film. 

Syuting film selama 10 hari di Pangandara, diakhiri dengan "pesta perpisahan" antara pemain utama dan kru film dengan para figuran. Pestanya ramai-ramai makan kambing guling diteruskan dengan ajojing sampai pagi. 



3. Lokasi Syuting di Lampung : Lima Ekor Gajah tapi berkesan Ratusan

Syuting selama 3hari dilakukan di Sekolah Gajah Way Kambas, Lampung Tengah. Maksud di pilihnya lokasi itu jelas, agar bis amenggunakan gajah-gajah yang sudah terlatih. Di Sini ingin di gambarkan kebesaran kerajaan Majapahit denga pasukan gajah dan kudanya. Karena pasukan berkuda sudah diambil gambarnya di Sumba, di Lampung hanya belasan ekor kuda yang di gunakan. Padahal mencari kuda di Lampung termasuk sulit. Maka, apa boleh buat diangkutlah kuda-kuda yang pernah di gunakan di Pangandaran, termasuk para penunggang kuda sekaligus pemilik kuda itu. 

Sebenarnya sekolah Gajah Way Kambas memberi keluasan menggunakan gajah-gajah yang sudah jinak sebanyak 48 ekor. Tapi, Tantowi cuma meminjam 5 ekor. Alasanya jumlah kuda yang ada tak memadai bila disandingkan dengan pasukan gajah. Kalau jumlah gajah terlalu banyak, akan kelihatan timpang. Namun dengan trik tertentu pasukan gajah dan pasukan kuda tampak ratusan jumlahnya. Caranya, kuda dan gajah yang sudah di tembak kamera, berputar lagi lewat di depan kamera secara berkseinambungan . Kesannya jumlah kuda dan gajah itu banyak sekali. 

Dalam show of force tentara Majapahit itu tentu harus di sertau set atau latar belakang bangunan kerajaan. Untuk itu bagian artistik film membangun dinding yang merupakan pintu gerbang kerajaan. Dinding buatan setinggi 8 meter denga panjang30 meter itu berhasil memberi kesan kemegahan Majapahit. Padahal bahan untuk dinding itu sederhana. Terbuat dari styro foam (bahan yang biasa untuk mengepak alat-alat elektronik). Bahan-bahan itu di potong-potong seukuran bata merah, lalu di lekatkan pada papan penyangga kemudian di cat sewarna dengan bata merah. Dari balik dinding itulah pasukan Majapahit keluar di saksikan oleh Brama Kumbara, Mantili, Patih Gutawa dan Harnum.

Mencoba naik gajah menjadi kesibukan tersendiri diluar syuting. Para artis ramai-ramai minta diajari naik gajah. Elly Ermawati termasuk yang paling nafsu. Pelatih gajah asal Thailand dengan sabar meladeninya. "Naik gajah kecil rasanya seperti naik mobil Honda, Paling enak naik gajah besar serasa naik Baby Benz," ujar Elly yang centil itu. 

Namun di hari lain, awak film dan pemain pun sempat panik ketika mendengar kabar bahwa sekawanan gajah liar mendatangi lokasi syuting. Memang di sekitar Way Kambas masih berkeliaran gajah-gajah liar. Suasana semakin mencekam ketika malam harnya lampu harus di padamkan karena terjadi kebakaran kecil pada generator listrik. Suasana tetap mencekam meskipun polisi khusus telah di datangkan dan paa pawang gajah membesarkan hati semua orang. Ketika rombongan meninggalkan tempat keesokan harinya, tetap dalam pengawalan ketat para polsus. Siapa Tahu gajah-gajah liar mencegat di tengah jalan. Untungnya tak terjadi apapun. "Pasukan" Saur sepuh sampai di Jakarta lagi dengan Selamat. 

4. Lokasi Syuting di Studio Cengkareng : Naik Rajawali Raksasa

Sebenarnya, awal syuting telah di mulai di studio milik PT. Kanta Indah Film yang berlokasi di daerah Cengkareng Jakarta Barat. Di studio tersebut di buat set-set yang menggambarkan kerajaan Pamotan, Madangkara dan Majapahit. Jelasnya semua adegan interior di lakukan di studio ini. Misalnya adegan Prabu Bre Wirabumi sedang pesta pora bersama para punggawa kerajaan. Atau adegan Prabu Brama Kumbara bersama istrinya Dewi Harnum dan adiknya Mantili, menerima tamu di Istana Madangkara. 

Namun demikian, ada pula adegan eksterior yagn di lakukan di studio. Yakni adegan rajawali terbang. Rajawali raksasa itu adalah kendaraan milik Brama Kumbara. 

Seekor Rajawali raksasadi tenggerkan di ruang studio. Badan Rajawali yang di buat dari kerangka besi baja itu, di balut dengan bulu burung sungguhan. Kepala burung itu pun bis adi gerakkan, menoleh ke kiri dan kekanan. Dengan teknis tertentu, sayap burung raksasa itu juga bisa di gerakkan ke atas dan ke bawah menyerupai burung yang mengepakkan sayapnya. 

Ketika syuting di mulai, setelah Brama naik keatasnya, burungpun di gerakkan. Sementara latar belakang yagn berwarna putih disorotkan gambar-gambar yang di geserkan ke samping, Gambar-gambar ituantara lain pemandangan sawah gunung, hutan juga kerajaan-kerajaan. Gambar yang ditangkap kamera secara keseluruhan adalah Brama naik burung rajawali terbang, melintasi sawah, gunung, sungai dan sebagainya.

Tekhnik yang di sebut Front Projection ini termasuk teknologo tinggi  yang memerlukan ketrampilan khusus bagi pelaksananya. Dalam hal ini tim artistik dan ahli efek khusus bekerja keras berbulan-bulan sebelumnya. 

Tak terasa syuting yang keseluruhannya berlangsung 5bulan itupun usai.Syuting yang hiruk pikuk dan gegap gempita, merupakan tontonantersendiri . Sekarang tinggal bagimana filmnya setelah di Mampukan film Saur Sepuh, Satria Madangkara menandingi popularitas sandiwara radionya?

Demikian Liputan tentang syuting saur sepuh Satria Madangkara.


No comments:

Post a Comment