PENATA LAGA EDDY S YONATHAN
Kurang begitu sukses menempuh karir sebagai pemain, dan gagal mendirikan grup band, Eddy S Yonathan kini lebih hndal sebagai penata laga. Menggarap sinetron laga tradisional lebih sulit dibanding modern, katanya. Eddy memimpikan penata laga sejajar profesinya dengan sutradara.
Sudah lebih 70an judul film laga yang ditangani oleh Eddy S Yonathan, penata kelahi yang cukup di segani di lapangan. Ia pernah mengarahkan bintang bintang laga handal seperti Barry Prima, Yoseph Hungan, Advent Bangun, Johan Saimima dan lain-lain. Murid terbaik Sutrisno Wijaya(sesepuh bintang dan fighting director film laga nasional) yang belajar ilmu beladiri di perguruan Porbikawa selama 6 tahun lebih , sedang menagani adegan laga sinetron kolosal Tutur Tinular tayangan AN-Teve. Kendati baru pertama terjun ke sinetron namun Eddy mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengarahkan para pemainnya untuk adegan eksyen klasik. Bahkan ia mengaku merasa semakin mudah untuk memperoleh adegan laga yang maksimal.
Memulai karirnya sebagai pemain merangkap fighting instructur lewat film Tangan Besi tahun 1971. Tapi kemudian Eddy lebih mendalami tata laga. Dia ingin menjadi fighting director, mengikuti jejak sang guru Sutrisno Wijaya.
Termasuk keras di lapangan suting, lebih tepat dibilang disiplin. Tak pilih bulu, apakah pemain sekaliber Barry Prima sekalipun, sampai pada figuran-figuran, mereka yang susah diarahkan segera posisinya digantikan, atau di hapus sama sekali. Karena disiplin itulah Eddy cukup disegani sebagai fighting director dimata para pemain dan kru. Dia juga tidak mau didikte oleh sutradara drama. itu karena Eddy merasa posisi fighting director sejajar dengan sutradara. Masing-masing punya kekuasaan sendiri. Dia tidak segan-segan mengambil sikap tegas jika ada sutradara drama yang ingin campur tangan dalam satu adegan laga yang ditanganinya.
Pria berpostur tinggi 170 cm ini menikah pada tahun 1977 dengan Maria Wahyu Raharjo dan dikaruniai dua orang anak, Amalia Yonathan yang sudah menulis skenario beberapa film seperti Rawing II, Macho II dan Pedang Ulung, sedangkan bungsunya bernama Danie Lahenda Yonathan.
Eddy S Yonathan pernah menekuni dunia musik sebagai gitaris, tapi tidak bertahan lama. Grup bandnya bubar. Eddy menekuni dunia ilmu bela diri dan film laga, karena dia merasa berkembang disitu.
Meski sinetron jenis eksyen belum dihargai di ajang festival, Eddy tidak mau ambil pusing. "Dari dulu memang begitu. Inilah kejelekan para pekerja seni kita, tidak bisa menghargai karya orang lain hanya karena terbentur aturan yang belum dikembangkan, " kata putra ke lima dari enam bersaudara kelahiran Malang, 20 Juni 1950 ini.
Saat wawancara ini dibuat, Eddy sedang sibuk menggarap sinetron kolosal Tutur Tinular tayangan AN-Teve (kemudian pindah Indosiar) yang berlokasi di bumi perkemahan Cibubur, pantai pangandaran dan Beijing, China. "Saya konsentrasi dulu disini, dikontrak oleh Pak Budi Sutrisno, bos PT. Genta Buana Pitaloka. Saya baru keluar dari satuperusahaan film, karena kontraknya sudah habis," ujar Eddy.
berikut petikan wawancara dari Majalah Film dengan Eddy Es Jonathan.
"Tutur Tinular adalah yang pertama bagi anda sebagai fighting director untuk tayangan layar kaca. Ada tidak perbedaan adegan laganya dibanding ketika anda menggarap film layar lebar?"
Pada Dasarnya sama saja, karena yang dimaksud laga atau eksyen itu adalah pukulan, tendangan dan tangkisan yang digarap secara filmis. Hanya di sinetron terasa agak mudah untuk membuat adegan , karena hasilnya bisa dilihat langsung lewat monitor. Peralatan kameranya juga lebih baik. Sementara film laayar lebar sampai sekaran gmasing menggunakan peralatan yang konvensional.
Artinya menurut Anda eksyen film layar lebar itu lebih sulit dibanding eksyen film layar kaca?
Menurut saya tingkat kesulitan ada dua macam. Pertama dari segi fasilitas pengadaan peralatan dan kedua segi pengadeganan. Dari segi fasilitas, sinetron memang lebih modern. Karenanya lebih mudah mengambil gambar adegan eksyen yang menarik ketimbang film layar lebar. Masalah pengadeganan saya rasa sama sulitnya antara sinetron dan film. Kita dituntut mencape adegan eksyen terbaik.
Apakah karena Anda merasa gagal jadi bintang laga sehingga menetapkan posisi fighting director sebagai profesi hidup anda?
Sebagai pemain, dibilang gagal sih nggak juga. Pertama main, saya langsung peran utama lewat film "Tangan Besi". Hanya kemudian saya lebih menekuni tata laga. Itu sesuai dengan latarbelakang keahlian saya sebagai 'orang perguruan' yang ditempa ilmu bela diri silat di Porbikawa. Saya merasa lebih leluasa berkreasi menampilkan adegan-adegan laga. Saya lebih suka disebut sebagai kreator eksyen. Tapi sekali-sekali bila dibutuhkan saya ikut main juga.
Bagaimana proses karir Anda sampai menjadi fighting director?
Pertama kali di film Tangan Besi, selain jadi pemain utama saya merangkap fighting instructur. Darisini saya mulai mengenal bagaimana proses teknik pengambilan gambar. Kemudian saya mulai melangkah ke fighting director lewat film Cakar Maut, film saya yang ke tiga tahun 1975. Sampai sekarang saya tetap mempertahankan posisi di film sebagai fighting director. Sebagai kreator eksyen saya banyak belajar dari pak Sutrisno Wijaya, guru saya di perguruan Porbikawa yang juga banyak terlibat didunia film eksyen,baik sebagai pemain maupun fighting director.
Apa saja referensi Anda sebelum menggarap sebuah adegan eksyen hingga mencapai hasil yang maksimal?
Yang utama bagi saya adala skenario itu sendiri. Saya selalu mempelajari unsur filmisnya dulu. Dari pengalaman kerjasama dengan beberapa sutradara merangkap kameramen yang cukup handal seperti Liu Chun Bok. Antara gambar dan pengadegaan bebeda. Dalam gambar seperti ada distorsi dengan asli yang dlihat oleh mata telanjang. Bisa saja yang tadinya olahraga beladiri di dalam film bisa menjadi ilmu bela diri. Film bisa menjadi 'ilmu' bela diri. Demikian juga sebaliknya, itulah filmisnya. Bagaimana kita menginterprestasikan pengadeganan yang ada di skenario. Sementara skenario itu sendiri bukanlah skenario yang utuh, karen adi abukan merupakan director shoot, melainkan skenario yang sifatnya tergantung sutradara di lapangan entah itu bagian drama atau eksyen. Misal seperti Tutur Tinular ini banyak pengadeganan eksyen. Tapi menurut saya plotnya kurang mengena, sehingga say aharus melakukan perombakan bekerjasama dengan penulis skenario.
Saya juga mengambil refernsi dari film luar, jika ada peran yang karakternya orang luar. Seperti beberap atokoh dalam sinetron Tutur Tinular yang memerankan tokoh pendekar dari daratan Cina, Saya harus menerapkan konsep, karakterdan ilmu yang ada di Cina untuk pemainnya.
Apa bedanya antara olahraga bela diri dengan 'ilmu' bela diri yang anda maksud.?
Ilmu itu dengan senirinya kita menggunakan bela diri dari mampu mengantisipasi problem. Tapi yang di sebut olahraga, semaa kekuatan fisik aja, ada lagi yaitu seni bela diri yang mengutamakan bentuk keindahan.
Apa kesan Anda selama mengarahkan para bintang laga kita?
Wah, bermacam-macam mulai yang susahdi arahkan , bandel sampai yang gampang diarahkan . Bervariasi.
Anda menekuni ilmu bela diri hampir 32 tahun, ditambah ketika Anda masih kanak-kanak juga sudah latihan silat. Sejauh mana peran Anda dalam mengontrol beraneka ragam emosi pemain yang kata anda bervariasi itu?
Sangat membantu sekali, dimana saya harus menguasai mereka secara kejiwaan. Saya berupaya untuk bisa memahami seluruh kepribadian dan kebiasaan mereka. Itu memang harus di kuasai oleh seorang sutradara drama dan sutradara eksyen.
Pernah berseteru dengan mereka?
Seingat saya belum pernah terjadi.
Jika ada yang bandel, biasanya apa yang Anda lakukan?
Saya ganti dengan pemain lain atau mengganti adegan.
Apa saja bekal utama untuk bisa menjadi fighting director?
Selain yang saya bilang tadi, yaitu menguasai ilmu, olahraga dan seni bela diri, juga harus menguasai musik. Paling tidak harus mempelajarinya. Karena musik merupakan gabungan pengadeganan yang bersentuhan langsung pada efek, sound, nuansa dan ilustrasi.
Diantara bintang-bintang laga Indonesia, siapa yangpaling sulit anda arahkan?
Hm.... (diam sejenak) kayaknya nggak ada, sebab saya selalu memberikan peran yang sesuai dengan kemampuanpemain. Saya tidak akan memberikan peran yang kira-kira adegannya tidak bisa di lakukan pemain.
Diantara puluhan film laga yang sudah Anda garap, film apa saja yang benar-benar maksimal Anda mengerjakannya?
Tentang maksimal minimal film yang saya hasilkan, tergantung pada budget produksi yang disediakan. Misal Saur Sepuh V, itu budgetnya tiga ratus juga. Hasilnya lebih baik dari film Pedang Ulung yang hanya seratus juta. Tapi jujur saya katakan, dalam setiap bekerja di lapangan saya berupaya maksimal.
Antara Eksyen Klasik dengan Modern, bagi Anda mana yang lebih sulit?
Dalam kondisi seperti ini, saya merasa lebih sulit membuat adegan Eksyen modern karena untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan peralatan yang modern, juga, mulai dari peralatan di lapangan maupn untuk proses editing di laboratorium. Sementara eksyen klasik cukup dengan peralatan konsvensional. Namun pada dasarnya kedua jenis itu punya tantangan dan kesulitan tersendiri.
Kalau tidak salah, eksyen dunia terdiri dari eksyen Amerika style, eksyen Mandarin dan Eksyen India. Anda lebih cenderung kemana?
Saya lebih tertarik ala Amerika, karena biasanya film-film laga Amerika selalu menjaga keseimbangan cerita dengan adegan laganya yang selalu terkait dengan jurus-jurus ilmu bela diri.
Sebagaian fighting director pernah mengatakan gerak ilmu bela diri silat sulit mengambil angelnya dan kurang menarik untuk ditampilkan ke bahasa gambar. Sehingga eksyen kita lebih banyak menampilkan jurus-jurus ilmu bela diri asing seperti Karate dan Tae Kwon Do. Apakah itu benar?
Ah, itu tidak benar. Tergantung pada penggarapnya, siapa fighting directornya. Jenis ilmu beladiri apapun kalau digarap baik dan sungguh-sungguh, pasti akan menghasilkan eksyen yang indah, karena masing-masing aliran punya keistimewaan dan keindahan sendiri. Tinggal bagaimana kita menggali dan menampilkan keistimewaannya itu.
Ada yang mengatakan untuk menjadi bintang eksyen itu gampang ketimbang jadi bintang drama, Apa pendapat anda?
Ha ha (tertawa) justru eksyen itu jauh lebih sulit. Karena eksyen itu jelas ada dramanya. Tapi kalau drama, belum tentu ada eksyen. Maknya pernah sutradara kita Fritz G Schadt bilang, bahwa sutradara yang belum pernah bikin film eksyen belum sah jadi sutradara.
~MF 299/265/XIV 29NOV-12DES 1997

