Sambungan dari bagian 7
Kegiatan di ibukota Pamotan cukup sibuk. Tentara mondar mandir. Gerobak-gerobak berisi padi berjalan hilir mudik dikawal ketat. Rupanya persiapan persediaan makanan sedang digiatkan menjelang hari penyerangan terhadap Majapahit. Diantara keramaian itu terlihat patih Gotawa dan Mantili dalam penyamaran mereka.
"Kita harus cari penginapan!", seru Gotawa
"Ya kelihatannya suasananya sudah sama sama panas. Saya tidak sangka ternyata Pamotan cukup besar juga kotanya", sahut Mantili.
Mereka membelok ke sebuah jalan yang sepi. Tiba-tiba mereka di kejutkan oleh dua orang yang mendarat dengan ringan di belakang mereka. Suara hardikannya cukup mengagetkan.
"Mau kemana kalian orang-orang Madangkara?"
Gotawa dan Mantili segera berbalik dan sigap mencabut pedang mereka. Tapi kemudian mereka tersenyum lalu pecahlah tawa mereka begitu mengetahui orang yang menghardik adalah Brama Kumbara bersama Harnum. Mantili memeluk Brama sambil berkata :
"Kakang sudah sampai sini?"
"Aku sudah mengirim surat pada Prabu Wirabhumi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tumenggung Bayan".
"Kakang Prabu sudah menghadap raja Pamotan? Lalu buat apa menyuruh kami? " tanya Mantili.
"Sabar! Hanya suratku yang kukirim dan besok aku akan tunggu kedatangan Tumenggung Bayan di hutan Tarik", Brama Kumbara memberikan penjelasan.
"Jadi?", Mantili masih tidak mengerti.
"Kalian ttap harus menghadap Bre Wirabhumi, sesudah itu boleh susul aku di hutan Tarik. Sekarang yang paling penting kita harus cari penginapan", Kata Brama Kumbara.
Sementara itu di padepokan Bukit Kalam banyak pemuda sedang di gembleng ilmu bela diri dengan jurus-jurus pedang yang di lakukan secara serempak. Dari jauh di gerbang padepokan muncul beberapa orang penunggang kuda.
Tumenggung Bayan sedang bermesraan dengan Lasmini yang kelihatan amat sensual. Ia tiduran dengan kepala di pangkuan Tumenggung Bayan.
"Kalau Pamotan berhasil menghancurkan Majapahit, pangkatku pasti di naikkan dan kau akan kubuatkan puri yang indah disini", Tumenggung Bayan mengumbar janji.
Lasmini menggeleng manja. "Di ibukota kakang Tumenggung! Kakang pikir saya betah tinggal di tempat sepi terpenci seperti ini?Saya minta kakang mendirikan padepokan silat ini hanya untuk membunuh waktu karena kakang jarang mengunjungi saya", Lasmini menjelaskan.
Sambil berbicara jari jemari tangannya mengelus wajah Tumenggung Bayang membuat Tumenggung muda itu selalu merasa bahagia berada di sisinya.
"Itu kan karena tugas negara. Percayalah Lasmini! Aku akan buktikan cintaku padamu sesudah perang selesai".
"Dan semua anak buah padepokan bukit Kalam akan membantu pasukan kakang Tumenggung?', Seru Lasmini.
Romantis sekali Tumenggung Bayang mengelus rambut Lasmini. Ketika itu tiba-tiba terdengar teriakan salas seorang murid padepokan itu.
"Kanjeng Tumenggung.... Paduka Panglima Lodaya datang!"
Buru-buru sekali tumenggung Bayan bangkit. Dia terkejut mendengar kabar itu, Pasti ada berita sangat penting sehingga seorang panglima datang mencari dia. Lasmini juga kaget. Panglima Lodaya masih duduk diatas kudanya. Mukanya keras menampakkan kemarahan yang tertahan. Tumenggung Bayan berlari mendatanginya.
"Ampun Tuanku Panglima, apa ada tugas untuk saya?, tanya Tumenggung Bayan sambil memberi hormat.
"Kamu telah melakukan kesalahan besar!" sahut Panglima Lodaya.
"Saya tidak mengerti maksud Panglima?".
"Kamu sudah membunuh utusan Madangkara. Ini bisa mengakibatkan ketersinggungan rajanya. Dan usaha mencari dukungan dari negeri lain akan gagal. Kamu harus bertanggungjawab!" seru Panglima Lodaya dengan tegas.
Tumenggung Bayan menunduk. Di kejauhan Lasmini menyaksikan kedua pembesar negeri Pamotan itu berbicara.
"Kamu di tantang oleh salah seorang utusan pribadi Raja Madangkara untuk bertanding kesaktian. Ini tuntutan dari raja Madangkara atas perbuatanmu!" seru panglima Lodaya lagi.
"Hamba Sanggup Panglima!" sahut tumenggung Bayan
"Harus!" karena kamu adalah Tumenggung Pamotan.
Panglima Lodaya segera meninggalkan Tumenggung Bayan yang masih termangu. Ia di iringi oleh beberapa orang prajurit Pamotan. Sementara itu murid-murid di padepokan Bukit Kalam masih duduk bersimpuh, sebagaimana kebiasaan kalau menghadapi masalah besar datang.
Di lain pihak Bre Wirabhumi tengah menerima utusan Negeri Madangkara. Bre Wirabhumi membaca surat Lontar yang di ukir indah. Wajahnya berkerut menggambarkan bahwa ia tidak senang dengan bunyi surat yang sedagn di bacanya.
Patih Gotawa dan Mantili yang duduk di hadapannya maklum akan hal itu. Tapi sebagai duta mereka tampak tenang. Sementara itu para pembesar kerajaan Pamotan kelihatan tenang.
"Tidak punya pendirian! katakan pada rajamu, aku butuh ketegasan!' Menjadi sekiti Pamotan atau menjadi musuh !" Aku tidak suka jawaban yang mengambang seperti ini !" seru Bre Wirabhumi.
Mantili menggigit lidahnya untuk menahan emosinya sedangkan Gotawa tetap tenang.
"Katakan Sabda ku pada rajamu!", Seru Bre
"Baik Gusti Prabu! sekarang juga kami mohon pamit," sahut patih Gotawa.
Kemudian mereka menyembah lalu meninggalkan tempat itu, Bre wirabhumi masih muring-muring.
"Aku yakin Sumedang Larang dan Tanjung Sengguruh serta Pajajaran akan mendukung kami!" seru Bre Wirabhumi dengan sinar mata yang penuh harap.
Bersambung......................