Sunday, September 22, 2024

PERJANJIAN DI MALAM KERAMAT, 75% Suting di Malam Hari


 Asap...!" teriak Sisworo Gautama. Mendengar suara sutradara itu, kontan kru efek mengipas-ngipas bara kayu campur solar di dalam kaleng. Seperti jual sate, tradisional memang, tapi efek asap untuk suasana angker tercapai. Setelah asap terkumpul dan kamera siap "on" pemain belum siap. Pengambilan gambar tertunda lagi. Lawan main Suzanna, Yongky DP masih memperbaiki efek luka di siku tangannya. 

Kameramen F.E.S Tarigan rewel. Ogah dengan tata lampu sembarangan. Dengan teriakan kecil dia menyentakkan penata lampu, " Lampunya Yang benar dong!". Richard Tarigan segera mengarahkan lampu untuk mencapai keinginan kameramen. "Aduh!" Melamuri minyak saja harus disuruh. Pakai inisatif dong, " ujar kameramen setelah mengintip kameranya. Asisten Juru Make Up yang melakukan pekerjaan itu jadi grogi. "Kru kita selalu menunggu perintah. Kayaknya ndak ada inisatif," bisiknya . 

"Film ini tidak hanya mengandalkan cerita, tapi juga trik. Akibatnya kamu harus teliti supaya mengena dan dapat membuat penonton takut, "Kilah Kameramen.

"Kemaren aja untuk trik menghabiskan waktu tiga jam untuk satu shot," ujar Suzanna menambahkan. Untuk menghemat waktu tidak ada jam tersia sia. Begitu selesai shot, langsung siap dengan shot lain. Untuk break makan waktu hanya disediakan setengah jam, menu bubur-buburan serta kopi dengan persediaan sampai pagi. 

Secara keseluruhan suting malam itu berjalan lancar dan mulus meski malam-malam sebelumnya  nyaris setiap hari begadang di lokasi. Wajah artis dan kru kuyu, tapi semangat masih menyala-nyala. Malam semakin larut, embun dini hari turun, membuat suasana begitu dingin. Untuk menghindari rasa kantuk, Suzanna banyak becanda, atau sesekali rebahan di dalam mobil jeep di dampingi Clieft Sangra. 

Suasana tanah kosong milik Pemda DKI, di persimpangan Halim dan DI Panjaitan Jakarta Timur masih semarak, meski warga Jakarta lelap dalam tidurnya. Dari kejauhan nyala lampu kelihatan indah, terkadang secara tak sengaja ingin membelah angkasa. Di pojok lain, sekelompok penata artistik beratap tenda plastik, sejak sore bekerja membuat boneka dan lain-lain keperluan suting. Dengan derap yang sama semua kru ingin segera menyelesaikan tugak secepatnya. 

Sisworo sebagai panglima suting, cekatan mengkomandoi. Ada rasa terburu-buru, boleh jadi juga jadwal suting telah diatur oleh produser. Sutradara yang baik harus punya kiat, idealis film perlu. Kedua unsur itu agaknya membuat sutradara film Perjanjian di malam keramat ini kerja mati-matian.

Produksi Soraya Intercine Film ini tidaklah begitu baru dalam ide. Karena penggarapannya serius, boboleh jadi film ini akan menjadi tontonan menarik. Dan pihak sutradara ada usaha, di samping pelakon dalam film ini merupakan artis handal untuk tema horor. Suzanna, Piet Pagau, Clift Sangra, Yenny Farida, Tino Karno, Rengga Takengon, Alex Bernard, Anita Anjani, Yongky DP dan Syarif Friyan. - Demikian di kutip dari MF No. 131/98 tanggal 6 Juli sd 19 Juli 1991

TUTUR TINULAR II, Etnik Jawa Bergaya Mandarin


Hadirnya tenaga asing dalam pembuatan Film di Indonesia di satu sisi memang berdampak positif, tapi disisi lain juga sangat merugikan. Mekanisme kerja, ketrampilan dan pengenalan peralatan suting yang lebih modern, merupakan dampak positif yang kita peroleh. 

Sisi lain, biasanya, tenaga asing itu memperoleh bayaran dan fasilitas lebih baik dibandingkan  karyawan film dalam negeri sendiri. Hal semacam ini sering menimbulkan iri hati. Akibatnya hasil kerja maksimal tidak tercapai. 

Contoh film buata Indonesia yang banyak melibatkan tenaga asing antara lain Babad Tanah Leluhur, tutur Tinular I dan Tutur Tinular II, yang merupakan produksi PT. Kanta Indah Film. Film tersebut melibatkan tenaga asing dari Hongkong. 

Dengan Wewenangnya sebagai penata kelahi (fighting director), karyawan impor itu dapat leluasa menjejalkan gaya (budaya) negerinya. Kalau sebalam ini masyarakat mungkin terpengaruh dari film Mandarin yang dimainkan orang Hongkong, tapi sekarang budaya tersebut  orang kita sendiri yang menampilkannya. Akibatnya lebih mudah di serap masyarakat (anak-anak) kita.

Tutur Tinular II yang seluruh lokasi sutingnya di kota Gudeng Yogyakarta, contoh etnik Jawa yang bergaya Mandarin. Kenapa? karena film tersebut penata kelahinya diperjayakan pada Lo Hua Keung, tenaga impor dari Hongkong. 

Menurut beberapa karyawan yang terlibat dalam produksi tersebut, da kecenderungan pekerjaan - tugas sutradara kita dirampas tenaga asing itu. Namun demikian kata mereka pula, Abdul Kadir Sutradara Tutur Tinular II cukup bersabar menghadapi Lam Chitai (Stunt asisten fighting), Yu Kiutung (sling supervisor), Ho Hon Chow (special effect) Lo Hua Keung, Tong Puiching (lighting animasi supervisor) dan Cheng Yee (fighting Supervisor) yang akan merampas wewenangnya. 

Kadir yang mengawali profesinya sebagai sutradara dengan film laga Pendekar Cabe Rawit, tetap berusaha menempatkan dirinya sebagai Komandan. Toleransi begitu menurutnya, kadang memang diberikan. Sebab para tenaga asing itu bekerja di bayar mahal oleh produser. 

Sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas apa yang muncul di layar perak nanti, Abdul Kadir tetap berusha menampilkan cerita secara utuh dengan etnik Jawa sebagai latar belakangnya. Namun demikian, iapun sadar kehadiran tenaga-tenaga asing tersebut akan mengurangi keutuhannya. - demikian dikutip dari MF No. 131/98 tanggal 6 Juli s/d 19 Juli 1991.

Thursday, September 12, 2024

DIBALIK GEMPITA, AKHIRNYA INILAH SAUR SEPUH ITU


 Kesempatan memang menjadi milik orang yang gesit. Drama radio "Saur Sepuh" yang diudarakan lewat 250 stasiun radi di berbagai wilayah di Indonesia tiba-tiba seperti melahirkan fenomena tersendiri. 

Para pendukung sandiwara ini, yang cuma suaranya saja yang dikenal, lalu lebih didekatkan dengan penggemar yang selalu membludag lewat hiburan panggung. Lalu muncul nama-nama populer macam Elly Ermawati, Ferry Fadly, atau Novia Kolopaking, "dinasti" saur sepuh perdana. Kepopuleran drama "Saur Sepuh" yang diudarakan mulai Februari 1984 ini, tercium juga bau komersialnya oleh orang film. 

Syahdan beberapa produser, tanpa kencanpun mulai mengontak Kalbe Farma, perusahaan farmasi yang punya hak milik "Saur Sepuh". Ada Tobali Film, Garuda Film serta Inem Film. Dari penjajagan dengan mereka, pihak Kalbe nampaknya lebih condong memilih Garuda Film. Tapi menghubungi produser Garuda tak mudah. Apalagi waktu itu Hendrick Gozali (Pemilik garuda film) pergi ke Hongkong. Sejak itu putus kontak Kalbe dan Garuda.

Produser lain, Kanta Indah Film adu nasib, menghubungi Kalbe dengan memutarkan film-film silat yang pernah di produksi macam "Kelabang Seribu", "Mandala", "Pendekar Ksatria" dan lainnya. Kalbe berubah pikiran melihat kesungguhan Kanta dan Imam. "Baik, Kalbe setuju asal yang menyutradarai Imam Tantowi", ujar pihak Kalbe. 

Tobali Film tak mau kalah. Ia tawarkan uang "beli" Saur Sepuh sebanyak Rp . 50 juga. Tapi mana Kalbe, yang telah keluarkan duit Rp. 5 Milyar untuk radio Saur Sepuh, menganggap uang segitu berharga. 

Bahkan kepada Kanta Film, Kalbe menjanjikan kalau film Saur Sepuh nanti jadi dibuat dan Kanta kekurangan duit, Kalbe akan bantu. "Dari kami  syaratnya cuma satu, bikin film Saur Sepuh sebagus mungkin, " ujar A.O Handriyono, Asisten Manager Marketing Kalbe Farma di mobil pribadinya saat suting di Lampung kepada Majalah Film. 

Semula Kanta menganggarkan film ini kelak cuma menghabiskan Rp. 700juta. Tapi sampai suting terakhir di Pusat Latihan Gajah Way Kambas Lampung, telah menghabiskan Rp. 800 juta.Dan ini tak jadi masalah. Sebab menurut orang terpercaya Kalbe, pihaknya juga membantu finansial pada Kanta Film. 

"Soal besarnya itu rahasia perusahaan," ucapnya. Bagi kami keuntungan dari film ini tak jadi masalah benar. Kalau masyarakat puas, kamu pun cukup puas," tuturnya dalam gaya di promasi seorang bisnis.

Maka Kantapun lalu menghubungi para pemain Saur Sepuh diantaranya Ferry Fadly, dan Elly Ermawati. Namun Ferry Fadly yang sudah dikontrak Kanta , menurut Fadly, sengaja dipermainkan pihak Kanta, Lantaran Saur Sepuh belum mulai juga saat Ferry dikontrak 4 bulan lalu. 

Dan Tobali Film masuk mencoba membujuk Ferry agar menyeberang ke pihaknya untuk bikin film Saur Sepuh. Maka muncul Saur Sepuh lain kalau tak mau di sebut "palsu". Gembar gemborpun mulai. Orang bingung Saur Sepuh model apa ini. Pihak Kalbe perlu turun tangan. Lewat iklan di koran, mereka memberitahu bahwa hak perfilman Saur Sepuh hanya diberikan pada Kanta Indah Film. Sejak itu Tobali nyerah lalu merombak skenario Saur Sepuh menjadi Brahmana Manggala.

Tobali ngebut produksi. Bahkan sebelum Saur Sepuh selesai suting pada 25 Juli ini, Film Brahmana Manggala sudah beredar. Celakanya beberapa distributor dan pihak gedung bioskop mulai nakal dengan menyebut inilah film Saur Sepuh. 

Tentu saja Kanta atau Sutradara Imam Tantowi yang namanya dibawa-bawa jadi keki, meski tak mau berbuat banyak.  "Akhirnya toh orang tahu bahwa film itu bukan Saur Sepuh," Ujar Tantowi. Hal ini juga diakui oleh Kalbe sendiri yang melihat iklan menyesatkan tentang film Brahmana Manggala di beberapa daerah. 

Sebuah kesempatan telah terlewati sudah. Dan Kanta Film plus Imam Tantowi telah menyergapnya. Tinggal kini menguji sejauh mana kesempatan kolosal ini dimanfaatkan dan diolah untuk diuji oleh masyarakat yang kadung demen sama Saur Sepuh. 

Dan ini benar-benar tantangan seharga Rp. 1,2 Milyar. Sebab pihak Kalbe juga memberi syarat bahwa film ini harus dipromosikan secara besar-besaran dengan pesan sponsor perusahaan obat ini, tentu saja. 

Dan kesempatan ini terjadi setelah nanti, Film Saur Sepuh dengan Elly Ermawati diedarkan serentak dengan 80 kopi pada 1 September 1988 untuk saru sepuh jilid I dan dilanjutkan Saur Sepuh jilid II (yang belum dibuat) dan direncanakan beredar 25 Desember, itupun kalau jadi lho ya!.


Demikian di tulis ulang dari artikel Sisipan Majalah Film No. 056/24 tanggal 20 Agustus sd 2 September 1988.



 


Tuesday, September 10, 2024

ALAM RENGGA SURAWIDJAYA, AKTOR DAN SUTRADARA FILM


 ALAM RENGGA SURAWIDJAYA atau lebih di kenal dengan Alam Surawidjaya memiliki nama lengkap Alam Rengga Rasiwan Kobar Surawidjaya, lahir di Sindang Laut Cirebon, 24 Desember 1924. Lepas dari sekolah Menengah Teknik Tinggi, ia belajar akting di "Cine Drama Institut" di Yogya pada masa revolusi. Sebelum ke film, Alam aktif main drama panggung dan menjadi sutradara grup "Reaksi Seni" Yogya disamping menyelenggarakan acara Sastra di RRI setempat. Sosoknya yang sederhana, namun siapa sangka karyanya banyak sekali baik sebagai pemain maupun sutradara film.


Terjun ke film sebagai Asisten Sutradara "Taufan" (1952) dan menjadi sutradara penuh untuk film "Manusia Suci" (1956). Ia di kenal sebagai sutradara spesialis pembuat film perang, walaupun ia menolak gelar itu dan mampu membuat film jenis lain seperti ia buktikan dengan "Nyi Ronggeng" (1970).

Alam di kenal sebagai sineas yang punya dedikasi tinggi dan gigih dalam berkarya. Ia sempat menjadi Anggota Dewan Film Nasional, Ketua Kine Klub DKJ, dan dengan istrinya Deliana Surawidjaya, ia pun membina anak-anak lewat perkumpulan sandiwara "Kak Yana".
Alam Surawidjaya tidak saja terkenal sebagai Sineas, tetapi ia pun sering tampil sebagai pemain seperti dalam film "Menyusuri Jejak berdarah" (1967), "Si Bongkok" (1972), "Cinta Pertama" (1973), Dimana Kau Ibu (1973), "Perkawinan Dalam Semusim" (1977), "Matinya Seorang Bidadari", "Perawan Buta" dan permainannya yang sangat menonjol dan mendapat sambutan dalam film "Si Buta Dari Goa Hantu".

Dalam menangani setiap filmnya, Alam selalu sungguh-sungguh dan sangat hati-hati, karena itulah ia tidak terlalu produktif. Hasil karyanya yang menarikyaitu "Daerah Tak Bertuan" (1963), "Perawan di Sektor Selatan" (1972), "Bandung Lautan Api " (1975) dan "Janur Kuning" (1979).

Anak Lurah yang punya saudara 13 orang ini, juga membuat film-film Dokumenter, antara lain : "Keluarga Berencana", "Wayang Golek", "Bursa Efek Efek", dll. Oleh karena Serangan penyakit jantung, Sutradara yang tak ada duanya dalam soal film perang ini menghembuskan nafas yang terakhir hari Senin dinihari tanggal 12 Mei 1980 di ruang ICCU RS Ciptomangunkusumo.

Sumber : Buku FFI 1985

Dikutip dari wikipedia, berikut film-film yang pernah di bintangi maupun yang di sutradarai oleh Alam Surawidjaya

SEBAGAI AKTOR
Taufan (1952)
Si Djimat (1960)
Suzie (1966)
Mendjusuri Djejak Berdarah (1967)
Si Buta dari Gua Hantu (1970)
awan Djingga (1970)
Perawan Buta (1971)
Banteng Betawai (1971)
Kabut Kintamani (1972)
Si Bongkok (1972)
Flamboyan (1972)
Pemburu Mayat (1972)
Anjing-Anjing Geladak (1972)
Tabah Sampai Akhir (1973)
Pencopet (1973)
Dimana Kau Ibu (1973)
Si Rano (1973)
Rio anaku (1973)
Si Mamad (1974)
Cinta Remaja (1974)
Lupa Daratan (1975)
Jinak Jinak Merpati (1975)
Wulan Di Sarang Penculik (1975)
Anak Emas (1976)
Perkawinan Dalam Semusim (1976)
Christina (1977)
Pembalasan Si Pitung (1977)
Istriku Sayang Istriku Malang (1977)
Ridho Allah (1977)
Pahitnya Cinta Manisnya Dosa (1978)

SEBAGAI SUTRADARA
Manusia Sutji (1955)
Detik detik Revolusi (1959)
Kenangan Revolusi (1960)
Sehelai Merah Putih (1960)
Sipendek dan Sri Panggung (1960)
Daerah Tak Bertuan (1963)
Ekspedisi Terakhir (1964)
Luka Tiga Kali (1965)
Cheque AA (1966)
Nyi Ronggeng (1969)
Perawan di Sektor Selatan (1971)
Bandung Lautan Api (1974)
Janur Kuning (1979)

SEPENGGAL KISAH ARIE HANGGARA


 SUATU siang di awal bulan November 1984, seorang lelaki berusia 36 tahun berdiri di dekat makam di daerah Jeruk Purut Jakarta. Lelaki itu nampak begitu pepat oleh duka penyesalan dalam seluruh sikap dan penampilannya. 

Lelaki itu adalah Tino Ridwan, yang dengan suara tersendat mengakui kesalahannya di makam Arieyanto, anaknya lelaki yang meninggal di tangannya sendiri, Penyesalan yang terlambat, yang membuat gondok tapi sekaligus juga menyadarkan akan bentuk pendidikan yang di tetapkan kepada anak-anaknya. Ia menghendaki anaknya hidup jujur, tidak berdusta, penurut, yang dalam pandangannya nanti akan membawa kepada kebahagiaan. Setidaknya bukan seperti yang dialami: tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya karena ditinggal bercerai, dan tak bisa menemukan pekerjaan tetap. Tino begitu menjunjung harga diri akan tetapi ia sendiri bukan contoh yang baik. Hidupnya tergantung kepada seorang perempuan yang menjadi istri keduanya , Yanti.

Yanti sendiri tak habis penyesalannya. Ia adalah ibu tiri yang turut membesarkan Arieyanto, dan kakak Arie yaitu Anggie serta adik Arie yaitu Andi. Ditangan ketiga bocak kecil inilah, Yanti yang belum pernah melahirkan anak kandung berusaha menempatkan diri sebagai ibu yang baik. Ia bekerja di suatu perusahaan yang cukup memberinya penghasilan, ia masih kursus untuk meningkatkan karir yang juga berarti penghidupan keluarganya yang lebih baik. Tapi ia juga disibukkan oleh pekerjaan harian dan masalah rumah tangga yang dibina dengan Tino. Satu-satunya restu yang di berikan oleh Ibu Tino belum terlaksana dalam bentuk pernikahaan resmi, ketika Ibunya Tino meninggal karena di tabrak vespa. 

Ia begitu getun menyesal, yang dalam, karena ketika penyiksaan Arieyanto, ia tak berusaha mencegah sekuat tenaganya. Ia sendiri menjadi jengkel justru karena Arieyanto seperti memperlihatkan sikap menentang ketika di temukan uang dalam tas sekolahnya. Penyesalan Yanti terutama karena justru sebagai seorang wanita yang mengenal anak-anaknya, pada saat yang kritis justru melupakan. 

Di makam itu pula Liana terguguk. Airmata ibu kandung Arieyanto ini seperti mengering karena semuanya telah tuntas mengalir. Ia sadar andai dulu Arieyanto masih bersamanya, hal itu tak akan terjadi. Tetapi ketika Arieyanto masih kecil, ia menyerahkan kepada bekas suaminya Tino Ridwan. Karena ia tak mampu menghidupi, karena tak tahan dengan tudingan keluarga dan masyarakat bahwa dirinya disia-siakan oleh Tino Ridwan.

Kisah Arieyanto adalah kisah tragis. Justru di saat kasih sayang ingin dicurahkan, justru ketika kecujuran ingin di tegakkan, yang terjadi adalah hasil buruk. Rumah tangga Liana - Tino Ridwan ruwet, Masalah ekonomi dan penyesuaian diri. 

itulah sepenggal kisah dari ARIE HANGGARA yang diangkat ke layar lebar melalui skenario Arswendo Atmowiloto dengan sutradara Frank Rorimpandey dan merupakan produksi PT. Manggala Perkasa Film. 


Sumber : Ria Film No. 615

Saturday, September 7, 2024

BRAM ADRIANTO, PEMERAN LETKOL UNTUK DALAM PENGKHIANATAN G 30 S PKI

 


BRAM ADRIANTO, adalah salah seorang yang mendukung film "Pengkhianatan G 30 S PKI" yang berperan sebagai Letjen Kolonel Untung , salah seorang penggerak dari pengkhianatan tersebut. 

Bukan sebuah peran yang mudah, tetapi Arifin C Noer, sang sutradara mempercayakan peran ini pada Bram. Bagaimana suka dan dukanya membintangi film tersebut, Bram Adrianto memberikan kesan pada Ria Film. 

"Orang lain bilang tidak perlu, tetapi saya merasa perlu melakukan observasi", bilang Bram yang berbadan tegap. Hal ini dikatakan sehubungan dengan banyak pendapat tentang perlu atau tidaknya melakukan pengamatan terhadap suatu peran. Lebih-lebih perannya sebagai Letkol Untung yang orangnya sudah tidak ada. Bagaimana cara Bram melakukan observasi terhadap peran ini tentu lebih sulit daripada ia berperan sebagai sopir taxi. Tetapi banyak jalan terbuka dan Bram melakukan dengan seksama. "Antara lain saya mendatangi museum sejarah ABRI. disana saya banyak tanya tentang pakaian atau tanda pangkat yang di pakai saat itu. Saya juga menghubungi bekas resimen Tjakrabirawa. Jadi saya tahu pakaiannya secara otentik. Menurutnya observasi semacam ini belum pernah di lakukan. Bram termasuk pemain dalam bayak film tapi  pengamatannya peran kali ini di lakukan secara khusus. 

Di akui, porsi perannya melebihi dari yang pernah di terima sebelumnya. Sehingga tidak jarang Bram mendiskusikan dengan pemain lain, atau pun rekan-rekannya. "Siapa sebenarnya pemeran utaman?", pertanyaan ini yang sering di lontarkan. Menurutnya posisi peran Letkol Untung di dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI cenderung sebagai tokoh utama. Pada akhirnya Bram tidak mendapat jawaban yang pasti. Namun begitu, ia sangat bangga bahwa perannya kali ini betul-betul menjadi perhatian. Lebih-lebih banyak pendapat yang menyebutkan betama Bram Adrianto berkesempatan main dengan baik. Arifin C Noer seperti memberi kesempatan yang besar, sementara tokoh yang lain muncul dalam jalur yang semestinya. Ini pula yang memunculkan pertanyaan siapa sebenarnya peran utama. 

"Pengkhianatan G 30 S PKI dulunya berjudul S.O.B singkatan dari Sejarah Orde Baru. Dibuat dalam waktu cukup lama, sekitar dua tahun dengan biaya yang besar pula. Konon kabarnya Pusat Produksi Film Negara (PPFN) mengeluarkan biaya lebih dari setengah milyar rupiah. Berarti jumlah biaya yang sekian kali lipat dari biaya sebuah film biasa. Sekarang ini, sebuah drama sederhana bisa dibuat dengan biaya 150 juta rupiah. Bahkan ada pembuat film yang berani memproduksi di bawah jumlah biaya tersebut. 

Sejak tahun 1982 dimana karya Arifin C Noer sebelumnya (Serangan Fajar) mendapat Piala Citra pada FFI '82 di Jakarta, baru kali ini karyanya di lombakan lagi pada Festival Film Indonesia t984 di Jogya. Suara-suara menyebutkan "Pengkhianatan G 30 S PKI" merupakan film yang merajai festival. Tapi Bram Adrianto justru merasa gelisah. Begitu banyak yang memuji permaiannya sebagai kolonel untung tetapi mungkinkah ia bisa menerima piala Citra.

"Untung ini orang jahat bung, Kata Bram tentang perannya. Mungkinkah juri mau menilai tokoh antagonis?


Sumber : Ria Film No. 548 tanggal 31  Oktober sd 6 Nopember 1984

SUTING FILM SAUR SEPUH DI WAY KAMBAS, LAMPUNG TENGAH, MALAM TERAKHIR KABEL DI PUTUS GAJAH LIAR

 



Pertengahan Juli lalu, Majalah film bersama 20 wartawan film ibukota, selama tiga hari mengikuti Imam Tantowi ke Pusat Latihan Gajah (PLG), Karangsari, Way Kambas, Lampung Tengah, Tantowi, Sutradara film aksi itu memang sedang merampungkan pembuatan film kolosalnya: "Saur Sepuh, Satria Madangkara" di daerah yang penduduknya mayoritas suku Jawa itu. 

Disertai puluhan kru dan para pemainnya seperti Elly Ermawaty, Anneke Putri, Fendy Pradana, Lamting, Hengky Tornando, Atut Agustinanto, Atin Martino dan lain-lain, Tantowi berbaur dengan puluhan figuran yang diambilnyadari penduduk setempat plus gajah-gajah yagn mulai jinak di PLG itu. "Ini suting terakhir Saur Sepuh yang mengambil adegan peperangan antara pasukan Majapahit yang menunggang Gajah dengan pasukan kerajaan Pamotan, "Ujar Tantowi.

Dan Adegan itulah yang selama tigah hari, dari pagi hingga malam, di sut kameramen Herman Soesilo di Way Kambas. Ada temboktinggi kerajaan Majapahit yang panjangnya 26 meter dan tingginya 8 meter, terbuat dari lukisan triplek, Lalu ada belasan ekor kuda dan lima ekor gajah serta puluhan figuran. 

Mengambil adegan yang serba kolosal itu, tak urung Tantowi naik pitam, Betapa tidak, puluhan orang di harapkannya menuruti komandonya. Tapi dasar para figuran itu awam terhadap dunia film, begitu tantowi teriak "CUT" mereka masih saja berkelahi dengan pasangannya. Atau belum lagi Tantowi teriak "ACTION!", mereka sudah mendahului berakting. Tak heran kalau Tantowi sambil melap keningnya yang penuh keringat, karena cuaca memang sangat panas, harus berkali-kali mengulang adegan. 

Belum lagi kuda-kuda yang ketakutan ketika bertemu dengan gajah-gajah pasukan Majapahit. Begitu Tantowi berteriak action dan kamera mulai bekerja, eh kuda-kuda tunggangan para Ksatria Madangkara itu lari ketakutan saat di depannya melintas gajah-gajah itu. Terpaksa Tantowi pakai cara lain, kuda-kuda itu di pegangi oleh para pemiliknya. 

Suting film yang sampai selesainya memakan waktu hingga 5 bulan itu, di Lampung agaknya merupakan suting puncaknya setelah di Sumba, Pangandaran dan Jakarta. Malam terakhir suting, seluruh kru dan Tantowi sendiri jadi kalang kabut karena muncul seekor gajah liar yang sempat memutus kabel diesel. 

Rupanya baik Tantowi maupun pawang-pawang gajah yang ada di Way Kambas, tidak lebih dulu kompromi dengan 3.000 ekor gajah liar yang masih berkeliaran di lokasi suting itu. 

Syukur, Sanga Noppharwan, seorang pawang Gajah asal Thailand, berhasil menghalau gajah liar itu, jika tidak?" Bisa-bisa suting di Way Kambas di tambah waktunya," tutur seorang kru Tantowi. 

Selain Tantowi, selama tiga hari itu ada juga yang cukup repot, Elly dan Anneke karena terpaksa memenuhi permintaan foto bersama dari para penduduk setempat. Kerja tambahan yang menyenangkan, Tentu! - Susdha

Di kutip dari bonus Majalah Film No. 056/24 tanggal 20 Agustus - 2 September 1988

artikel ini juga sudah tayang di fanspage facebook Komunitas Pecinta Film Indonesia Jadul