Hadirnya tenaga asing dalam pembuatan Film di Indonesia di satu sisi memang berdampak positif, tapi disisi lain juga sangat merugikan. Mekanisme kerja, ketrampilan dan pengenalan peralatan suting yang lebih modern, merupakan dampak positif yang kita peroleh.
Sisi lain, biasanya, tenaga asing itu memperoleh bayaran dan fasilitas lebih baik dibandingkan karyawan film dalam negeri sendiri. Hal semacam ini sering menimbulkan iri hati. Akibatnya hasil kerja maksimal tidak tercapai.
Contoh film buata Indonesia yang banyak melibatkan tenaga asing antara lain Babad Tanah Leluhur, tutur Tinular I dan Tutur Tinular II, yang merupakan produksi PT. Kanta Indah Film. Film tersebut melibatkan tenaga asing dari Hongkong.
Dengan Wewenangnya sebagai penata kelahi (fighting director), karyawan impor itu dapat leluasa menjejalkan gaya (budaya) negerinya. Kalau sebalam ini masyarakat mungkin terpengaruh dari film Mandarin yang dimainkan orang Hongkong, tapi sekarang budaya tersebut orang kita sendiri yang menampilkannya. Akibatnya lebih mudah di serap masyarakat (anak-anak) kita.
Tutur Tinular II yang seluruh lokasi sutingnya di kota Gudeng Yogyakarta, contoh etnik Jawa yang bergaya Mandarin. Kenapa? karena film tersebut penata kelahinya diperjayakan pada Lo Hua Keung, tenaga impor dari Hongkong.
Menurut beberapa karyawan yang terlibat dalam produksi tersebut, da kecenderungan pekerjaan - tugas sutradara kita dirampas tenaga asing itu. Namun demikian kata mereka pula, Abdul Kadir Sutradara Tutur Tinular II cukup bersabar menghadapi Lam Chitai (Stunt asisten fighting), Yu Kiutung (sling supervisor), Ho Hon Chow (special effect) Lo Hua Keung, Tong Puiching (lighting animasi supervisor) dan Cheng Yee (fighting Supervisor) yang akan merampas wewenangnya.
Kadir yang mengawali profesinya sebagai sutradara dengan film laga Pendekar Cabe Rawit, tetap berusaha menempatkan dirinya sebagai Komandan. Toleransi begitu menurutnya, kadang memang diberikan. Sebab para tenaga asing itu bekerja di bayar mahal oleh produser.
Sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas apa yang muncul di layar perak nanti, Abdul Kadir tetap berusha menampilkan cerita secara utuh dengan etnik Jawa sebagai latar belakangnya. Namun demikian, iapun sadar kehadiran tenaga-tenaga asing tersebut akan mengurangi keutuhannya. - demikian dikutip dari MF No. 131/98 tanggal 6 Juli s/d 19 Juli 1991.