Sunday, September 7, 2025

ASAL MULA NAMA DARTO HELM


Darto Helm, yang nama aslinya Sudarto, Kelahiran Purwokerto anak pengusaha wayang orang, suka main jadi Bagong. Kemudian main band dan jadi penyanyi. Akhirnya pindah profesi jadi pelawak. Gara-gara operasi helm di jaman Pak HOEGENG sebagai kepala Polisi, namanya jadi Darto Helm. Ini juga nama kecil pemberian orang tua jadi pas. 

"Dasarnya memang dari kecil suka melawak, walau hanya antara teman-teman. Pengagum Bob Hope, pelawak Amerika dan Norman Wisdom dari Inggris. Sudah gede ternyata jadi pelawak profesional bersama S. Bagio dan Diran. Awlnya saya diajak pak Bagio tahun 1973. Waktu itu kan saya suka jadi Bagong, Sutiah anggota wayang orang Bapak saya jadi Abimanyu. Yang kemana saja saya ikuti, sampai ke kamar tidur saya ikuti. Akhirnya jadilah bini saya, " ungkap Darto Helm yang main dalam film pertama "Buah Bibir". Lalu di susul Mawar Rimba, Putri Duyung, Tuyul, Tuyul Perempuan dll. Juga film Door to door atau Dari Pintu Ke Pintu dengan sutradara BZ Kadaryono. 

Sedangkan sinetron antara lain "Ada Ada Saja" dalam episode Pakde versus Om, main dalam dua episode. 

"Main film, bagi saya yang paling berkesan ketika main dalam film Tuyul dan Tuyul Perempuan, karena pertama kalinya saya main film sebagai pemeran utama dan lokasi sutingnya sebagian di Australia". Kalau melawak Darto biasanya bersama Pak Bagio dan S Diran. Darto mengaku mengagumi Tonny Curtis, Kirk Douglass, Sophia Loren, Elizabeth Tailor, Pat Bone dan Elvis Presley. Punya hobi nyanyi dan nonton film serta main sepakbola. Sehingga tak heran jika pernah melihat foto Darto bersama pelawak lain main bola. 



Saturday, September 6, 2025

GADIS METROPOLIS PRODUKSI KE 55 VIRGO PUTRA FILM

 


Gadis Metropolis di sutradarai oleh Slamet Riyadi , Produser dari Virgo  Putra Film Ferry Anggriawan. Gadis Metropolis mengambil lokasi suting di sekitar Jakarta dengan menelan biaya sekitar Rp. 300 Juta. Pada tahun 1992 PT Virgo Putra Film yang biasanya memproduksi 6 sd 8 film dalam setahun, hanya memproduksi 3 film yaitu Selembut Wajah Anggun, Three In One (3 Dalam 1) dan Gadis Metropolis.

Dalam film Gadis Metropolis, Virgo Pura Film memasang artis pendatang baru untuk mendampingi artis senior. Maksud produser supaya ada alih generasi di dunia keartisan. "Terkadang disiplin artis yang sudah beken suka ngaco. Di calling pukul 8 bisa datang pukul 12. Kenyataan ini sering terjadi, kilah sang produser. 

Untuk peran utama masih di percayakan kepada Sally Marcellina, serta didampingi Baby Zelvia, Piet Pagau, Pitrajaya Burnama, Artis mudanya Febby R Laurence, Inneke Koesherawati, Luthy Tambayong, James Sahertian dan Alex Kembar. Untuk kru dipercayakan kepada Partogi Simatupang (Kamerawan), Herman Suherman (Penata Artistik) dan Slemet Riyadi (sutradara).

Cerita dan Skenario yang di tulis Zara Zettira ZR ini diangkat dari novelnya sendiri. Kisahnya tentang Mitha, Seorang gadis yang hidup di Ibukota. Impiannya ingin menjadi penyanyi yang top. Tapi apa lacur, ketika ia ingin memasuki dunia tarik suara, namun oleh produsernya sendiri, ia di perkosa. Sejak itu Mitha dendam dengan sosok lelaki. 

Dalam keadaan kelimpungan seperti itu, Mitha berkenalan dengan Tante Mirna. Ternyata sang tante dendam pula pada lelaki. Melihat penampilan Mitha yang Seksi, tante Mirna jatuh hati. Keduanya terlibat cinta sejenis. Yan gmenjadi tantangan buat Mitha apakah bisa keluar dari dunia tersebut?

~ada yang nonton film ini di bioskop? yang tentunya lebih panjang dibanding versi VCDnya.

Thursday, September 4, 2025

PROSES SUTING SOERABAIA '45

 


Penginapan yang terletak di jalan Embong Kenongo Surabaya, pagi itu banyak di kerumuni orang, terutama pemuda pemudi Surabaya. Padahal waktu masih pagi betul. Ada puluhan orang sudah berkumpul di sana. Tiba-tiba ada aba-aba yang meminta mereka ngumpul jadi satu. Di teras penginapan itu sudah tersedia beberapa kursi. Kemudian satu persatu pemuda pemuda yang berumur sekitar 20 sampai 25 tahun itu harus melalui testing terlebih dahulu sebelum mereka dinyatakan ikut mendukung film Soerabaia '45 sebagai figuran. 

Ternyata test itu tidak menyangkut masalah akting atau pengetahuan tentang film, tapi tetap ada hubungannya dengan pelepasan baju atau kaos yang mereka kenakan. "Rambutnya harus dipangkas," jelas juru make up yang sudah memegang gunting. Benar juga. Pemuda-pemuda itu memang harus dipotong rambutna. Tentu, supaya sesuai dengan keadaan tahun 1945, " Saya kira ada operasi rambut. Saya tadi nggak berani masuk," sergah seorang kru yang rambutnya sudah sebahu panjangnya. 

Yang cewek-cewek ternyata juga terkena syarat. Mereka harus mengatur rambutnya. Ada yang di kuncir, ada yang di kelabang dan ada yang di kepang dua. Mirip sekali gadis-gadis tahun 45an. Mereka pun terus diboyong ke lokasi suting yang jaraknya cukup jauh dari penginapan para kru film. 

Di kampung Kali Sari, para pemuda-pemudi yang lebih beken disebut Arek Arek Suroboyo, bermunculan. Mereka bergerombol-gerombol, berbaris sambil membawa bendera merah putih, bambu runcing dan meneriakkan kata-kata MERDEKA!. Mereka lalu bergabung. Tapi tiba-tiba sutradara yang sedang menangani (Gatot Kusumo) adegan itu memberi aba-aba "Cut" "Ayo mbak yang itu jangan cengengesan!" teriaknya sambil menunjuk salah satu pemain (figuran) yang saat di sut masih juga ketawa-ketawa. Padahal dialah yang paling dekat dengan kamera. 

Film Soerabaia '45 sudah dimulai sutingnya. Keseluruhan lokasi dilakukan di Surabaya, supaya kesan yang pernah ada dalam sejarah itu bisa divisualisasikan. Tak heran kalau kru film bagian artistik bekerja matimatian menyulap kembali gedung gedung, gang-gang, lorong-lorong, rumah-rumah dan lain-lain sehingga mengesankan waktu peristiwa itu terjadi. 

Soerabaia '45 mengisahkan perjuangan arek-arek Suroboyo merebut kembali kota Surabaya dari tangan penjajah. Film yang penuh dengan peristiwa sejarah ini juga diselipi adegan-adegan fiktif sebagai benang merah penyambung cerita. Bintang bintang pendukung antara lain Ade Irawan, Anneke Putri, S. Bono, Leo Kristi memegang peran sebagai Bung Tomo. 

Seperti film-film sejarah perjuangan yang telah beredar, tak lupa menampakkan tokoh proklamator kita. Film ini bahkan lebih lengkap memunculkan tokoh-tokoh perjuangan seperti Bung Karno Bung Hatta, Bung Tomo dan lain-lain. 

Selain bintang-bintang ibukota, film ini juga didukung oleh anggota Parfi Jawa Timur yang berjumlah sekitar 100 orang, pemuda pemudi dan masyarakat Surabayaberjumlah sekitar 3000 orang untuk adegan perangnya saat Jendral Malaby tewas di Gedung Internatio. Tak hanya itu film yang akan memakan waktu suting 6 sampai dengan 8 bulan ini mendapat dukungan dari Pemda setempat. Juga dari Angkatan Bersenjata wilayah jawa Timur. 

Sekitar 55 Kru Film diterjunkan ke Surabaya. Malah jauh-jauh sebelumnya untuk beberapa pemeran terpaksa dilombakan. Ini penting untuk mendapatkan tokoh-tokoh yang benar-benar mirip dengan tokoh asli yang terlibat dalam peristiwa bersejarah itu. Juga lomba kostum/pakaian yang di pakai para pejuang, tentara Belanda, tentara Jepang ikut dilombakan. 

Tak tanggung-tanggung penanganan film ini menggunakan dua orang sutradara dan empat kamerawan handal. Selain Gatot Kusumo sebagai sutradara juga sutradara spesial film-film akbar dan massal Imam Tantowi, sedangkan bertindak sebagai juru kamera adalah Max Pakasi yang berperan sebagai kamerawan utama yang akan di bantu oleh beberapa kamerawan yang lain. 


Sumber : MF No 100/68/Tahun VI, 28 April - 11 Mei 1990

HIDUP SEMAKIN PANAS, PRODUKSI PERDANA PT. RAVIMAN FILMS


 Pada awal era 1980an pernah berjaja PT. Sukma Jaya Film, sebuah kongsi film yang cukup produktif memproduksi film-film drama. Bahkan pada setiap te.lop filmnya berani pasang moto "Lambang film Bermutu" Untuk menyebutkan beberapa judul filmnya yang terkenal antara lain "Kabut Sutera Ungu" (Sjumandjaya), "Ponirah Terpidana" (Slamet Rahardjo), Di Balik Dinding Kelabu, Permainan Bulan Desember. 

Sayang kemudian terjadi perpecahan antara produser Manu Sukmajaya dengan kompanyonnya, Karsono Lukito. Yang menjadi pasal jelas masalah uang. Meskipun perkara tersebut kemudian di selesaikan, tak urung Sukmajaya Film stop produksi. 

Sesudah bertahun tahun Sukmajaya Film tutup, di akhir tahun 1989 kemudian lahirlah sebuah perusahaan baru yang merupakan reinkarnasi, PT. Raviman Films. Sebagai Produser dipasang nama Hanita Mahtani yang bukan lain daripada puteri kandung Manu sendiri. Dan sebenarnyalah masih tetap Manu yang mengendalikan segala kegiatan perusahaan baru tersebut. 

Sebagai produksi perdana disebut  "Hidup Semakin Panas" yang pembuatannya di percayakan kepada Henky Solaiman."Ini tetap merupakan sebuah film bertema drama, meskipun sarat dengan unsur-unsur action, kriminal dan pengadilan" tegas sang sutradara yang didampingi kamerawan Lukman Hakim Nain. 

Disini untuk pertama kalinya Deddy Mizwar harus berhadapan dengan Deddy Mizwar, dan Nurul Arifin kudu bersaing akting dengan Nurul Arifin juga. "Memang Deddy berperan sebagai saudara kembar, cuma yang satu tersesat jalan sehingga menjadi gembong kriminal, pembunuh bayaran dan penyelundup narkotik, sebaliknya yang lain malah berhasil menjadi Sarjana Hukum dan bertugas sebagai Hakim yang harus mengadili perkara kembarnya sendiri," ungkap Hengky Solaiman. 

Lalu, apakah Nurul Arifin juga bemain sebagai gadis kembar? "Oh tidak dijelaskan kalau Nurul adalah kembar, kemungkinan mereka cuma saudara, tapi memang berwajah sangat mirip, cuma saja berbeda perwatakan".

Dalam sejumlah adegan dua tokoh kembar ini dipertemukan untuk berdialog. "Hebat nggak tuh?" kata Deddy yang yakin dapat kemantapan aktingnya sebagai hakim yang memvonis hukuman mati atas kembarannya. 

Sebenarnya suting sudah cukup lama selesai, cuma prosessingnya baru berjalan sekarang. "Kami bermaksud bikin barang tiga empat film dulu, baru nanti mengedarkannya secara beruntun", promosi Manu. Sudah direncanakan untuk memproduksi " Ratapan Anak Tiri III & IV" "Kuantar Ke Gerbang" dan kelak ada juga lanjutan "Kabut Sutera Ungu".


~sumber : MF 100/68/Tahun VI, 28 April - 11 Mei 1990~

FILM JIPLAKAN ATAU PENGINDONESIAAN?


Jiplakan, gubahan, saduran atau diilhami dari sebuah film adalah sekedar kata lain untuk sejumlah film Indonesia yang ternyata memiliki cerita sama dengan film impor. Memang mau tak mau harus diakui salah satu sumber cerita film Indonesia adalah film impor baik itu barat, Mandarin maupun India. Biasanya Produser yang menonton sebuah film asing yang menarik minatnya, lalu berembuk dengan skenariowan untuk mengIndonesiakannya. 

Dulu ada produser yang khusus mengajak sutradara untuk menonton film-film di luar negeri. Tapi dengan adanya video membuat segalanya jauh lebih gampang. Film yagn sedang di putar di Amerika, dalam dua minggu saja sudah bisa di pastikn videonya beredar disini.

Membalik-balik buku catatan, cukup banyak jumlahnya film Indonesia yang bersumber dari film luar. Bahkan pernah dua film di buat berbarengan, sama-sama menjiplak dari sebuah film Mandarin. Believe It or Not, tapi ini benar-benar terjadi di tahun 1975, sutradara Ishak Iskandar menggarap "Surat Undangan" (dibintangi Christine Hakim, Ratno Timoer, Nano Riantiarno dan Titiek Sandhora), sedangkan BZ Kadaryono mengarahkan "Rahasia Gadis" dengan Jenny Rachman, Fadly, Roy Marten dan Ully Artha, Jebul, keduanya jiplakan dari karya Li Shing , "Behind the Pearly Curtain" yang dibintangi oleh Chen Chen, Charles Chin Shiang Lin dan Tang Lanhua. 

Contoh lain , Bruce Lee menggebrak lewat "The Big Boss", maka Le Son Bok dari Indonesia buru buru membuat "Tendangan Maut" dengan Eddy S Jonathan. Jalan ceritanya tentu saja mirip sekali. 

Film-film Mandarin, baik silat maupun drama merupakan film yang paling banyak ditiru. Kalau mau terus terang maka sebenarnya hampir semua film silat Indonesia adalah versi lain dari film silat mandarin. Tentu saja karena sebenarnya di bumi Nusantara tak dikenal rimba persilatan Kang Auw dengan pendekar-pendekar pedang pengelana seperti di daratan cina tempo dulu. 

Sedangkan film-film melodrama yang bertujuan mengucurkan airmata penonton, secara diluar kepala saja bisa di sebutkan contoh-contoh sebagai berikut , "Hati Selembut Salju" (Jenny Rachman dan Herman Felani) samimawon dengan "Errant Love"nya Li Siu Ling dan Kenny Bee. 

"Kekasih"nya Bobby Sandy yang di bintangi Jenny Rachman, Roy Marten dan Deddy Mizwar, mirip dengan "A Cloud of Romance"nya Lin Ching Shia, Chin Shiang Lin dan Chin Han. Tak Ingin sendiri arahan Ida Farida dengan bintang Meriam Bellina dan Rano Karno sama dengan "Young Smilling Face" yang dimainkan Chen Chen dan Chin Han. 

"Patah Hati seorang Ibu "nya Agus Elias dengan Anna Tairas dan Pong Harjatmo, persis "My Mother" Chen Chen dan Kho Chun Siung.  "Malam Pengantin" arahan Lukman Hakim Nain dibintangi Tanty Yosepha Fadly dan lenny Marlina sama dengan "The Perplexity" (Silvia Chang Ai Chia, Chin Han dan Joan Lin Fung - Chiao). "Bercinta" Richie Ricardo dan Rani Soranya persis dengan "Espirit d'Amour" Alan Tam dan Ni Shu CHin. 

"Ketika Detik-detik CInta Menyentuh"nya Ali Shahab dengan Rano Karno dan Christine Panjaitan adalah "He Never Gives Up"nya Li Hsing dengan pasangan Chin Han-Joan Lin Fung-Chiao. Begitu pula halnya dengan film-film seperti "Busana Dalam Mimpi" "Satu Malam Dua Cinta", "Cinta Annisa", "Mutiara", "Satu Cinta Seribu Dusta", dan banyak lagi lainnya, tak bisa dipungkiri memiliki kesamaan dengan film-film melodrama Mandarin. 

Yang hebat justru beberapa film sejenis bisa lolos dari pengamatan Dewan Juri FFI. Pernah terjadi heboh gara-gara ketahuan bahwa film "Bercanda Dalam Duka"nya Ismail Soebardjo sama dengan film "Homicidenya Shaw Brothers. Padahal "Perempuan dalam Pasungan" juga ada versi Taiwannya "The Tragedy of An Insane Woman". Lalu "Perceraian" Hasmanan yang lolos sebagai film pilihan, ketahuan mirip dengan "A Married Affair"nya Dean Shek. 

Itulah contoh-contoh yang diambil dari film Mandarin. Contoh dari film Indiapun tak kurang banyaknya. Ada "Percintaan", "Rio Anakku" "Dimana Kau Ibu" dan "Rahasia Buronan". Sedangkan dari film Barat adalah "Bila Hati Perempuan Menjerit" ("Lipstick"), "Jangan Biarkan mereka Lapar" ("All Mine To Give"), "Pengantin Remaja" ("Love Story") dan "Pengantin Pantai Biru" ("The Blue Lagoon"). 

Ada yang secara blak-blakan menuliskan sumbernya seperti dilakukan Wahab Abdi "Jangan Kirimi Aku Bunga", dari  "Send Me No Flower", atau Sjumandjaja yang menyebutkan "Si Mamad" dan "Pinangan"  di ilhami cerpennya Anton Chekov, lalu "Laila Majenun" dari "West Side Story". Wim Umboh juga sebenarnya terpengaruh "Seven Samurai"nya Akira Kurosawa ketika menggarap "Sembilan" yang kolosal itu. Atau Teguh Karya ketika membuat "Kawin Lari" adalah pengindonesiaan dari "The Glass Menagerie" dan "November 1828" dari pentas "Montstratt". Sophan Sophian berterus terang "Saat Saat Yang Indah" memang dari novelnya Erich Segal "Man, Woman and Child" film versi Indianya berjudul "Masoom" dikembangkan lagi dengan judul "Ayu dan Ayu" dalam sebuah adegan terlihat Danny Dahlan sedang membaca novel karya Segal itu. 


~sumber : MF 057/25 tahun V, 3-16 September 1988



Saturday, August 30, 2025

SAUR SEPUH SATRIA MADANGKARA, NILAI KOLOSAL SERTA EFFECT KHUSUS

 


SAUR SEPUH SATRIA MADANGKARA, NILAI KOLOSAL SERTA EFFECT KHUSUS

Cerita : Niki Kosasih

Skenario/Sutradara : Imam Tantowi

Kameramen : Herman Soesilo

Penata Musik : Harry Sabar

Penyunting Gambar : Janis Badar

Penata Artistik : Nazar Ali

Effect Khusus : El Badrun

Pemain : Fendy Pradana, Murtisaridewi, Elly Ermawatie, Anneke Putri, Hengky Tornando, Baron Hermanto, Atut Agustinanto, Chitra Dewi, Lamting, Atin Martino, Belkiez Rachman, Joseph Hungan, dan di dukung ribuan figuran.

Inilah film kolosal dengan sudut bidik kamera yang searah gambar-gambar dengan warna coklat yang dminan dan pertarungan-pertarungan yang terkesan lamban dan gemulai. Sebagai film kolosal, baik Imam Tantowi maupun Herman Soesilo cenderung terlihat membidik adegan melulu dari depan dan samping. Tak terlihat upaya untuk membidikkan  kamera dari atas atau dari belakang adegan. Nilai kolosal itu sendiri akhirnya terjebak pada keumuman pendapat publik yang menganggap film kolosal hanyalah film dengan ratusan atau ribuan pemain. (ini yang benar ya, karena ada yang mengartikan kolosal itu film silat, padahal arti kolosal sendiri bukan silat tapi melibakan banyak pemain .admin)

Sedang warna coklat yang dominan, bisa jadi memang di sengaja Tantowi untuk lebih mengesankan fenomena masa lalu. Selebihnya, Saur Sepuh, Satria Madangkara menjadi hawa Segar film bak bik buk. Kepiawaian Imam Tantowi sebagai sutradara muda yang penuh bakat, memang  mulai memperlihatkan wujudnya dalam film ini. Sayang, Tantowi kurang didukung kerabat kerjanya yang lain. 

Penyuntingan gambar oleh Janis Badar dari satu adegan keadegan lain cenderung melompat lompat. Sementara musik yang di kerjakan Harry Sabar, kurang berhasil menampilkan nuansa masa lalu tersebut meskipun memiliki daya dukung yang lumayan kuat terhadap adegan yang berlangsung. 

Sebagai cerita, Saur Sepuh sudah terbukti memiliki daya pikat. Di radio, Saur Sepuh berhasil menyeret  imej pendengarnya terhadap kedigdayaan, kebenaran, keadilan, kesewenang-wenangan dan cinta kasih dengan segala akibat yang di timbulkannya. Tapi adakah imej masyarakat akan tetap terbina setelah menyaksikan filmnya?

Tantowi agaknya memang ingin tetap konsisten terhadap imej tersebut. Dan itulah yang memang dilakukannya dalam menyutradarai  film denga biaya lebih satu milyar ini. Kedigdayaan Brama Kumbara, kehebatan Pedang Setan Mantili dan pertarungan-pertarungan ilmu kesaktian tingkat tinggi, ditampilkan Tantowi dengan keseriusan penggarapan terhadap efek-efek khusus yang dibutuhkan. Dalam hal ini, adalah El Badrun yang patut kita beri nilai sembilanpuluh sembilan untuk kerja dan karyanya. Sebagai pembuat special effek, Badrun berhasil  melambangkan gambaran yang nyaris sempurna untuk imej masyarakat yang rajin mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh, yang cuma mendengar teriakan ciatt atau gedebuk gedebuk saja. 

Ajian Serat Jiwa, Racun sepasang pedang setan, ajian telapak geni dan gambaran kedigdayaan Brama, tampil manis berkat kerja Badrun. Badrun seperti pengakuannya, memang tidak main-main dalam mengerjakan effek-effek khusus film ini. Untuk membuat burung Rajawali tunggangan Brama saja, Badrun mengaku menghabiskan bulu seratus ekor angsa dan tiga juta rupiah biaya untuk menyelesaikan. (Sebuah nilai yang besar untuk saat itu)

Lepas dari kesungguhan kerja Badrun tersebut, Saur Sepuh memang tampil wajar sesuai cerita aslinya. Casting yang pas untuk pelaku-pelakunya, adalah kunci lain yang bakal membawa sukses film ini. Sedangkan sebagai film aksi, Tantowi agaknya paham betul apa yang harus ia kerjakan. Karenanya secara filmis, Saur Sepuh adalah karya sinematografi yang patut di puji meski memiliki beberapa kelemahan seperti yang di sebutkan tadi. 

Begitupun, di tengah ketidak berdayaan film Indonesia saat ini baik tema nya maupun penggarapannya, Tantowi sudah hadir dengan sedikit nilai lebih dan kita patut bertepuk tangan untuk itu.


~sumber : MF~

Saturday, August 23, 2025

YOSEPH HUNGAN, LARI KE FILM KARENA DUNIA OLAHRAGA TAK MENJAMIN


 Tampil meyakinkan sebagai jagoan PON, Yoseph Hungan hadir sebagai sosok baru pendamping Advent Bangun untuk film-film laga Indonesia. Berperawakan kekar dengan garis-garis wajah yang keras, anak pertama dari delapan saudara kelahiran Ambon ini mengaku terjun ke film hanya kebetulan. "Saya tak pernah berpikir, apa lagi bercita-cita untuk main film", katanya. 

Namun perjalanan nasib rupa-rupanya menghendaki laik. Persahabatannya dengan Willy Dozan memperkenalkan pada dunia tersebut. "Itu pada tahun 1987. Waktu itu Willy sedang mencari pemain untuk lawannya dalam film "Pernikahan berdarah", Ketika itu ia main-main ke Semarang, dia temui saya dan mengajak saya ikut dalam film itu. Mulanya saya enggak mau. Tapi lama-lama tertarik juga untuk mencoba," tutur mantan pegawai DOLOG Semarang ini. 

Dari film itulah Yoseph mulai merasa ia juga bisa main film. "Apalagi wkatu itu baik sutradara maupun kru memuji-muji permainan saya. Timbul keyakinan dalam diri saya bahwa sayapun bisa main film kok," tuturnya. 

Keyakinan itulah yang menurutnya membuat ia kemudian banyak diminta untuk ikut dalam berbagai film yang sudah di produksi, Lahir 15 Juli 1959 DAN II (tahun 1989) Internasional Tae Kwon Do ini memang kemudian hadir sebagai antagonis baru dalam film-film laga Indonesia. "Tapi sebenarnya saya ingin tampil tak cuma dalam film laga lho, soalnya terus menerus main dalam film laga membuat orang beranggapan saya duplikatnya Advent. Soalnya adalah , aliran kami berbeda, Advent kan lebih punya nama ketimbang saya. Tapi ya tongkrongan kami memang agak mirip," tuturnya. 

Setelah bermain film, akhirnya Yoseph Hungan berhenti bekerja di Dolog. Dari film ia mengaku bisa menabung sedikit-sedikit. 

Kalau dari Olahraga? "Dunia olahraga kita nampaknya belum menjamin masa depan atlit. Saya contohnya." jawabnya. Lantas, itu pula ang membuat kamu menolak ikut Sea Games lalu? "Satu diantaranya ya. Soalnya saya harus masuk Pelatnas pada saat bersamaan dengan suting film "Misteri Dari Gunung Merapi", Jadinya saya harus memilih. Dan saya pilih film karena difilm saya cari makan", katanya. 

Dan Yoseph membuktikan hal itu. Sekalipun tak ikut Pelatnas untuk PON XII secara rutin karena harus bolak balik suting, Yoseph toh berhasil menyumbangkan medali emas untuk kontingen Jawa Tengah. "Tapi jangan salah, sambil suting, saya tetap saja jaga kondisi, Paling tidak lari-lari di sekitar lokasi," ujar Taw Kwondoin yang melengkai gelar-gelar juaranya sembilan kali berturut-turut.~


~Sumber : MF ~




Tuesday, August 12, 2025

OOM PASIKOM, MOSAIK KARIKATUR PARODI IBUKOTA

 


Karikatur coretan G.M Sudarta di koran "Kompas" mendadak mencelat keluar dari kolomnya di depan mata Oom Pasikom yang manusia beneran yang lagi baca koran dalam bis kota!. mau tak mau adegan itu mengingatkan pada "Brenda Starr" yang juga dari komik mendadak hidup jadi manusia. 

Oom Pasikom adalah lelaki lugu, jujur dan baik hati yang merasakan segala macam kekerasan hidup di ibukota. Gonta ganti pekerjaan mulai dari wartawan, salesman, pemandu wisata sampai sopir taksi. Beragam pengalaman dari hasil pertemuan dengan berbagai manusia membuatnya semakin arif (Seharusnya).

Berbeda dengan istrinya, Tante Pasikom yang bahenol, genit dan sok bergaul dengan nyonya-nyonya kalangan atas. Justru salah satu kenalannya, tante Tomo, mengangkat Oom Pasikom menjadi sopir pribadinya. Pak Tomo mencemburui istrinya ada main dengan si sopir, padahal ia sendiri pacaran dengan bintang seksi Tika. 

Cerita melompat ke sumbangan untuk kaum pemulung. Anak asuh Oom Pasikom, Rima yang giat mengumpulkan sumbangan berhasil membujuk Pak Yan, konglomerat haus nama. Tanpa prosedur Oom Pasikom pun diangkat jadi Ketua Pemulung se Jakarta. 

Secara keseluruhan cerita film ini bagai mosaik pengalaman si Oom. Sayangnya, Umam (Chaerul Umam) tak menggarapnya dengan gaya karikatur komik ala Chaplin saja misalnya. Karakter si Oom saja menimbulkan tanda tanya. Pada awalnya timbul dugaan ia pacaran dengan Rima, apalagi takut kepergok anaknya, Koko yang gemar memeras uang jajan. Padahal niatnya baik, ingin membantu biaya sekolah Rima, anak pelukis Suyudana, temannya dari Yogya. 

Sosok si Oom memang berhasil di hidupkan oleh Didi Petet yang dilengkapi atribut topi baret khas dan jas tambalan, tapi karakternya berbeda dengan karikatur aslinya yang gemar memprotes apa saja. Sedangkan sosok si Tante malah di mainkan secara over oleh Lenny Marlina yang sengaja tampil lain sekali dari biasanya. 

Pemain-pemain lain antaranya Desy Ratnasari, Niniek L Karim, Rachmat Hidayat, Ami Prijono, Ida Kusumah, Yurike Prastica, Mang udel dan Pemain cilik Ferry Iskandar, terasa cuma sebagai pelengkap belaka dari Didi yang berusaha bermain total dari awal sampai akhir. 

Kemungkinan sutradara Chaerul Umam tak leluasa menggelar ide untuk mengkritik ibukota mengingat film ini merupakan kerjasama antara PT. Sepakat Bahagia Film dengan Pemda DKI Jakarta. Kendati begitu Umam masih menyelipkan adegan gebrakan Kamtib atas pedagang kaki lima yang tak peduli si oom sedang bersantap, main gotong saja ke atas truk. Tapi si Oom tak peduli, terus melanjutkan santapnya. Ada pula adegan tawuran batu anak-anak SD, di jalan. Sayangnya adega pembersihan becak yang kadang terasa sangat sadis tidak ada. Jadi tinggal adegan-adegan manis saja yang tersuguh. 

Sumber : MF