|
Mantili dan Gotawa |
Sambungan dari bagian 9
Di antara keramaian kota Brama, Mantili, Harnum dan Gotawa sedang berhadapan dengan murid Lasmini yang pernah mengintip perkelahian. Brama membaca surat dari Lasmini lalu ia berkata kepada orang itu.
"Katakan pada majikanmu, aku pasti datang!", seru Brama tegas.
"Hamba Permisi!".
Dan anak buah Lasmini segera melompat kembali ke atas kudanya. sementara itu sepasukan tentara Majapahit berbaris melintasi Brama dan ketiga kerabatnya.
Di suatu tempat di pinggiran hutan Lasmini berdiri mematung sambil berkacak pinggang. Kelihatannya wajahnya yang keras dengan bibirnya yang terkatup rapat. Dia memandang jauh ke depan. Tak lama kemudian Brama dan rombongannya tiba. Brama segera turun dari kudanya sementara Gotawa, Harnum dan Mantili masih tetap diatas kuda mereka.
Lasmini menurunkan tangannya dan siap mencabut pedangnya. Matanya tetap diam. Brama dengan tenang mendatanginya dengan wajah yang tersenyum arif. Lasmini tiba-tiba menjadi ragu. Nampaknya dia mulai terpikat dengan ketampanan wajah Brama. Mereka sudah berhadapan.
"Maaf aku terpaksa membunuh suamimu!", seru Brama Kumbara.
"Tunanganku!"' Lasmini memprotes
"Ya maaf, karena dia telah membunuh utusan madangkara",
"Dan sekarang kamupun haus mati!" seru Lasmini dengan marah.
Selesai bicara dia langsung menyerang Brama dengan gencar dan cepat. Tapi bagi Brama serangan itu bukan apa-apa. Kepandaian silat yang masih dalam tingkat menengah, masih jauh dari sebutan ahli apalagi jago. Berkali-kali Brama membuat Lasmini semakin sewot karena serangannya tidak pernah ada yang mengena. Namun diam-diam Lasmini semakin mengagumi Brama. Orangnya tampan, keahlian silatnya luar biasa.
Dalam perkelahian yang nyaris hanya berupa permainan itu Brama terus menjelaskan mengapa Tumenggung Bayan harus di bunuhnya.
"Pacarmu di bunuh bukan karena dendam, nona. Tapi hukuman, dia telah membunuh seorang utusan resmi dari negaraku. "
"Persetan, pokoknya kamu harus mampus!' sahut Lasmini.
Dan sebuah tusukan pedang yang sangat deras nyaris menembus tenggorokan Brama kalau saja dia tidak segera menangkap pedang itu dengan giginya. Lasmini tidak mampu mencabut pedang itu dari gigitan Brama walaupun dia sudah menggunakan seluruh tenaganya.
Mantili justru kesal melihat adegan itu.
"Memuakan! Perempuan apa itu, dia bukan sedang berkelahi, gerakannya seperti merangsang birahi lawannya", seru Mantili.
Harnum cuma tersenyum . Dia tahu bahwa suaminya bukan orang yang mudah tergiur oleh rayuan murah seperti itu.
"Salah kalau dia mau menaklukkan kakang Brama dengan cara seperti itu", sahut Harnum
Dan memang Lasmini seperti mau menangis dengan sikap yang manja karena tidak mampu mencabut kembali pedangnya. Dan hanya dengan satu sentakan kecil Brama berhasil mematahkan pedang itu. Lasmini kembali marah dan mengamuk membabi buta. Kali ini Brama tidak mau membiarkan perempuan itu bertingkah lebih banyak lagi. Dengan satu pukulan yang tidak terlampau keras tetapi tepat membuat Lasmini melintir kesakitan.
Sebenarnya bagi seorang yang pernah berlatih silat pukulan seperti itu tidak akan membuat pingsan. Tapi Lasmini mempunyai rencana lain. Dia memegangi dadanya, tubuhnya menjadi limbung lantas jatuh pingsan. Brama segera menolong untuk memberikan bantuan melegakan kembali rongga dadanya yang terkena pukulan tadi. Diangkatnya tubuh Lasmini ke pangkuannya. dan Ketika itulah Lasmini memeluk Brama serta mencoba menciumnya. Tapi Brama mengelak dengan tidak menyinggung perasaan wanita yang dianggapnya aneh itu.
"Kamu tidak apa apa kan?, tanya Brama.
Lasmini memandang Brama dengan pandangan wanita yang sedang kasmaran. Brama menyadari itu
"Dadaku tidak apa-apa, tapi hatiku justru berdebar", sahut Lasmini.
"Luka Dalam?" tanya Brama
"Kamu terlalu mempesona untuk menjadi musuhku!", seru Lasmini.
"Jangan! Kamu harus tetap membenciku karena aku telah menghukum tunanganmu!"' seru Brama.
Dari Jauh Mantili menangkap gelagat itu. Sebenarnya Harnum juga demikian.
"Kurang ajar! Apa maunya perempuan itu? Kakang Brama, bunuh saja dia!" teriak Mantili
Lasmini tersinggung mendengar teriakan Mantili. Dia bangkit dari duduknya yang menyandar pada Brama.
"Siapa dia?", tanyanya
"Adikku dan yang satu lagi adalah istriku"' Brama menerangkan.
Mendengar hal itu Lasmini Langsung berdiri. Mukanya kembali keras dan sorot matanya tajam sekali.
"Suatu saat aku pasti akan membunuhmu! Juga adikmu!", ancam Lasmini.
"Kamu tidak akan mampu ! Percayalah!", sahut Brama.
"Aku tidak akan sendiri. Aku punya guru, tunanganku, juga punya guru. semua menaruh dendam padamu! Ingat itu!".
Brama tetap tenang. Lalu dengan gesit Lasmini melompat ke atas kudanya dan kemudian melarikan binatang itu cepat sekali. Benar saja, Lasmini langsung menemui si mata setan sahabatnya.
"Dia harus di bunuh!" seru si Mata Setan.
"Juga adiknya dan isterinya! Aku benci mereka!", Lasmini menambahkan.
"Seluruh kerabatnya kalau perlu akan ku habiskan!"
"Aku yakin, mereka masih berkeliaran di Majapahit."
Sementara itu di sebuah lapangan menjelang malam di adakan upacara pembakaran mayat Tumenggung Bayan. Sebagai seorang berpangkat, upacara pemakaman cukup ramai. Dan puncak acara pembakaran mayat itu adalah saat istrinya yang dengan setia menjalani upacara terjun ke adalm api menyala sesuai dengan kepercayaan pada masa itu untuk membuktikan kesetiaan seorang istri.
Teman-teman seperguruan dan guru dari Tumenggung Bayan juga adir. mereka marah sekali mengetahui Tumenggung Bayan di bunuh oleh Satria dari Madangkara.
"Cari tahu dimana orang Madangkara itu berada!" seru guru Tumenggung Bayan.
"Di Majapahit guru!" salah seorang muridnya menjawab.
BERSAMBUNG..........