Saturday, November 29, 2025

PENATA LAGA EDDY S. YONATHAN, INGIN SEJAJAR DENGAN SUTRADARA


PENATA LAGA EDDY S YONATHAN

Kurang begitu sukses menempuh karir sebagai pemain, dan gagal mendirikan grup band, Eddy S Yonathan kini lebih hndal sebagai penata laga. Menggarap sinetron laga tradisional lebih sulit dibanding modern, katanya. Eddy memimpikan penata laga sejajar profesinya dengan sutradara. 

Sudah lebih 70an judul film laga yang ditangani oleh Eddy S Yonathan, penata kelahi yang cukup di segani di lapangan. Ia pernah mengarahkan bintang bintang laga handal seperti Barry Prima, Yoseph Hungan, Advent Bangun, Johan Saimima dan lain-lain. Murid terbaik Sutrisno Wijaya(sesepuh bintang dan fighting director film laga nasional) yang belajar ilmu beladiri di perguruan Porbikawa selama 6 tahun lebih , sedang menagani adegan laga sinetron kolosal Tutur Tinular tayangan AN-Teve. Kendati baru pertama terjun ke sinetron namun Eddy mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengarahkan para pemainnya untuk adegan eksyen klasik. Bahkan ia mengaku merasa semakin mudah untuk memperoleh adegan laga yang maksimal. 

Memulai karirnya sebagai pemain merangkap fighting instructur lewat film Tangan Besi tahun 1971. Tapi kemudian Eddy lebih mendalami tata laga. Dia ingin menjadi fighting director, mengikuti jejak sang guru Sutrisno Wijaya.

Termasuk keras di lapangan suting, lebih tepat dibilang disiplin. Tak pilih bulu, apakah pemain sekaliber Barry Prima sekalipun, sampai pada figuran-figuran, mereka yang susah diarahkan segera posisinya digantikan, atau di hapus sama sekali. Karena disiplin itulah Eddy cukup disegani sebagai fighting director dimata para pemain dan kru. Dia juga tidak mau didikte oleh sutradara drama. itu karena Eddy merasa posisi fighting director sejajar dengan sutradara. Masing-masing punya kekuasaan sendiri. Dia tidak segan-segan mengambil sikap tegas jika ada sutradara drama yang ingin campur tangan dalam satu adegan laga yang ditanganinya. 

Pria berpostur tinggi 170 cm ini menikah pada tahun 1977 dengan Maria Wahyu Raharjo dan dikaruniai dua orang anak, Amalia Yonathan yang sudah menulis skenario beberapa film seperti Rawing II, Macho II dan Pedang Ulung, sedangkan bungsunya bernama Danie Lahenda Yonathan. 

Eddy S Yonathan pernah menekuni dunia musik sebagai gitaris, tapi tidak bertahan lama. Grup bandnya bubar. Eddy menekuni dunia ilmu bela diri dan film laga, karena dia merasa berkembang disitu. 

Meski sinetron jenis eksyen belum dihargai di ajang festival, Eddy tidak mau ambil pusing. "Dari dulu memang begitu. Inilah kejelekan para pekerja seni kita, tidak bisa menghargai karya orang lain hanya karena terbentur aturan yang belum dikembangkan, " kata putra ke lima dari enam bersaudara kelahiran Malang, 20 Juni 1950 ini. 

Saat wawancara ini dibuat, Eddy sedang sibuk menggarap sinetron kolosal Tutur Tinular tayangan AN-Teve (kemudian pindah Indosiar) yang berlokasi di bumi perkemahan Cibubur, pantai pangandaran dan Beijing, China. "Saya konsentrasi dulu disini, dikontrak oleh Pak Budi Sutrisno, bos PT. Genta Buana Pitaloka. Saya baru keluar dari satuperusahaan film, karena kontraknya sudah habis," ujar Eddy. 



berikut petikan wawancara dari Majalah Film dengan Eddy Es Jonathan. 

"Tutur Tinular adalah yang pertama bagi anda sebagai fighting director untuk tayangan layar kaca. Ada tidak perbedaan adegan laganya dibanding ketika anda menggarap film layar lebar?"

Pada Dasarnya sama saja, karena yang dimaksud laga atau eksyen itu adalah pukulan, tendangan dan tangkisan yang digarap secara filmis. Hanya di sinetron terasa agak mudah untuk membuat adegan , karena hasilnya bisa dilihat langsung lewat monitor. Peralatan kameranya juga lebih baik. Sementara film laayar lebar sampai sekaran gmasing menggunakan peralatan yang konvensional. 

Artinya menurut Anda eksyen film layar lebar itu lebih sulit dibanding eksyen film layar kaca?

Menurut saya tingkat kesulitan ada dua macam. Pertama dari segi fasilitas pengadaan peralatan dan kedua segi pengadeganan. Dari segi fasilitas, sinetron memang lebih modern. Karenanya lebih mudah mengambil gambar adegan eksyen yang menarik ketimbang film layar lebar. Masalah pengadeganan saya rasa sama sulitnya antara sinetron dan film. Kita dituntut mencape adegan eksyen terbaik. 

Apakah karena Anda merasa gagal jadi bintang laga sehingga menetapkan posisi fighting director sebagai profesi hidup anda?

Sebagai pemain, dibilang gagal sih nggak juga. Pertama main, saya langsung peran utama lewat film "Tangan Besi". Hanya kemudian saya lebih menekuni tata laga. Itu sesuai dengan latarbelakang keahlian saya sebagai 'orang perguruan' yang ditempa ilmu bela diri silat di Porbikawa. Saya merasa lebih leluasa berkreasi menampilkan adegan-adegan laga. Saya lebih suka disebut sebagai kreator eksyen. Tapi sekali-sekali bila dibutuhkan saya ikut main juga. 

Bagaimana proses karir Anda sampai menjadi fighting director?

Pertama kali di film Tangan Besi, selain jadi pemain utama saya merangkap fighting instructur. Darisini saya mulai mengenal bagaimana proses teknik pengambilan gambar. Kemudian saya mulai melangkah ke fighting director lewat film Cakar Maut, film saya yang ke tiga tahun 1975. Sampai sekarang saya tetap mempertahankan posisi di film sebagai fighting director. Sebagai kreator eksyen saya banyak belajar dari pak Sutrisno Wijaya, guru saya di perguruan Porbikawa yang juga banyak terlibat didunia film eksyen,baik sebagai pemain maupun fighting director. 

Apa saja referensi Anda sebelum menggarap sebuah adegan eksyen hingga mencapai hasil yang maksimal?

Yang utama bagi saya adala skenario itu sendiri. Saya selalu mempelajari unsur filmisnya dulu. Dari pengalaman kerjasama dengan beberapa sutradara merangkap kameramen yang cukup handal seperti Liu Chun Bok. Antara gambar dan pengadegaan bebeda. Dalam gambar seperti ada distorsi dengan asli yang dlihat oleh mata telanjang. Bisa saja yang tadinya olahraga beladiri di dalam film bisa menjadi ilmu bela diri. Film bisa menjadi 'ilmu' bela diri. Demikian juga sebaliknya, itulah filmisnya. Bagaimana kita menginterprestasikan pengadeganan yang ada di skenario. Sementara skenario itu sendiri bukanlah skenario yang utuh, karen adi abukan merupakan director shoot, melainkan skenario yang sifatnya tergantung sutradara di lapangan entah itu bagian drama atau eksyen. Misal seperti Tutur Tinular ini banyak pengadeganan eksyen. Tapi menurut saya plotnya kurang mengena, sehingga say aharus melakukan perombakan bekerjasama dengan penulis skenario. 

Saya juga mengambil refernsi dari film luar, jika ada peran yang karakternya orang luar. Seperti beberap atokoh dalam sinetron Tutur Tinular yang memerankan tokoh pendekar dari daratan Cina, Saya harus menerapkan konsep, karakterdan ilmu yang ada di Cina untuk pemainnya. 

Apa bedanya antara olahraga bela diri dengan 'ilmu' bela diri yang anda maksud.?

Ilmu itu dengan senirinya kita menggunakan bela diri dari mampu mengantisipasi problem. Tapi yang di sebut olahraga, semaa kekuatan fisik aja, ada lagi yaitu seni bela diri yang mengutamakan bentuk keindahan. 

Apa kesan Anda selama mengarahkan para bintang  laga kita?

Wah, bermacam-macam mulai yang susahdi arahkan , bandel sampai yang gampang diarahkan . Bervariasi. 

Anda menekuni ilmu bela diri hampir 32 tahun, ditambah ketika Anda masih kanak-kanak juga sudah latihan silat. Sejauh mana peran Anda dalam mengontrol beraneka ragam emosi pemain yang kata anda bervariasi itu?

Sangat membantu sekali, dimana saya harus menguasai mereka secara kejiwaan. Saya berupaya untuk bisa memahami seluruh kepribadian dan kebiasaan mereka. Itu memang harus di kuasai oleh seorang sutradara drama dan sutradara eksyen. 

Pernah berseteru dengan mereka?

Seingat saya belum pernah terjadi. 

Jika ada yang bandel, biasanya apa yang Anda lakukan?

Saya ganti dengan pemain lain atau mengganti adegan. 

Apa saja bekal utama untuk bisa menjadi fighting director?

Selain yang saya bilang tadi, yaitu menguasai ilmu, olahraga dan seni bela diri, juga harus menguasai musik. Paling tidak harus mempelajarinya. Karena musik merupakan gabungan pengadeganan yang bersentuhan langsung pada efek, sound, nuansa dan ilustrasi. 

Diantara bintang-bintang laga Indonesia, siapa yangpaling sulit anda arahkan?

Hm.... (diam sejenak) kayaknya nggak ada, sebab saya selalu memberikan peran yang sesuai dengan kemampuanpemain. Saya tidak akan memberikan peran yang kira-kira adegannya tidak bisa di lakukan pemain. 

Diantara puluhan film laga yang sudah Anda garap, film apa saja yang benar-benar maksimal Anda mengerjakannya?

Tentang maksimal minimal film yang saya hasilkan, tergantung pada budget produksi yang disediakan. Misal Saur Sepuh V, itu budgetnya tiga ratus juga. Hasilnya lebih baik dari film Pedang Ulung yang hanya seratus juta. Tapi jujur saya katakan, dalam setiap bekerja di lapangan saya berupaya maksimal. 

Antara Eksyen Klasik dengan Modern, bagi Anda mana yang lebih sulit?

Dalam kondisi seperti ini, saya merasa lebih sulit membuat adegan Eksyen modern karena untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan peralatan yang modern, juga, mulai dari peralatan di lapangan maupn untuk proses editing di laboratorium. Sementara eksyen klasik cukup dengan peralatan konsvensional. Namun pada dasarnya kedua jenis itu punya tantangan dan kesulitan tersendiri. 

Kalau tidak salah, eksyen dunia terdiri dari eksyen Amerika style, eksyen Mandarin dan Eksyen India. Anda lebih cenderung kemana?

Saya lebih tertarik ala Amerika, karena biasanya film-film laga Amerika selalu menjaga keseimbangan cerita dengan adegan laganya yang selalu terkait dengan jurus-jurus ilmu bela diri. 

Sebagaian fighting director pernah mengatakan gerak ilmu bela diri silat sulit mengambil angelnya dan kurang menarik untuk ditampilkan ke bahasa gambar. Sehingga eksyen kita lebih banyak menampilkan jurus-jurus ilmu bela diri asing seperti Karate dan Tae Kwon Do. Apakah itu benar?

Ah, itu tidak benar. Tergantung pada penggarapnya, siapa fighting directornya. Jenis ilmu beladiri apapun kalau digarap baik dan sungguh-sungguh, pasti akan menghasilkan eksyen yang indah, karena masing-masing aliran punya keistimewaan dan keindahan sendiri. Tinggal bagaimana kita menggali dan menampilkan keistimewaannya itu. 

Ada yang mengatakan untuk menjadi bintang eksyen itu gampang ketimbang jadi bintang drama, Apa pendapat anda?

Ha ha (tertawa) justru eksyen itu jauh lebih sulit. Karena eksyen itu jelas ada dramanya. Tapi kalau drama, belum tentu ada eksyen. Maknya pernah sutradara kita Fritz G Schadt bilang, bahwa sutradara yang belum pernah bikin film eksyen belum sah jadi sutradara.

~MF 299/265/XIV 29NOV-12DES 1997



Friday, November 28, 2025

ERIK "GOBANG" SOEMADINATA

 


ERIK "GOBANG" SOEMADINATA. Kesuksesan film serial SI Gobang di pasaran ternyata tak mengubah keseharian Erik Soemadinata, pemeran si Gobang pendekar berbudi luhur. Lelaki pemalu kelahiran 7 Januari 1965 ini masih tetap Erik yang kemana-mana naik bis dan suka nongkrong di toko buku dan majalah untuk melampiaskan kegilaannya membaca. 

Anak pertama dari lima bersaudara putra pak Soemadinata, wartawan harian Pikiran Rakyat ini sejak kecil memang hobi membaca, terutama komik cerita silat yang sedikit banyak merasuk dalam kehidupannya. Makanya waktu dites untuk memerankan Gobang, ia tak menemui banyak kesulitan. Apalagi ditunjang dengan penguasaan tiga cabang olahraga yang di gelutinya dengan tekun, Silat Tinju dan Bina Raga. 

Dewi Fortuna memang segera merangkul terhadapnya yang sempat menggeluti berbagai macam pekerjaan mulai dari Security, demonstrator alat-alat olahraga, supervisor sampai jadi pelayan di sebuah restoran internasional. Sutradara Atok Suharto dan Liliek Sudjio memasangnya sebagai pemain andalan untuk film seri Si Gobang dan Misteri dari Gunung Merapi.

Sukses yang diraihnya terhadap pemuda yang sempat bercita-cita jadi seorang psikoog ini tak lepas dari kerja kerasnya dan semakin mantap kalau film adalah nafas hidupnya. "Apapun yang terjadi saya akan menggeluti film". Walau t idak sebagai pemain, mungkin sebagai kru film;" kata Erik yang mungkin tertarik sebagai kru film " tekad Erik yang hanya mendapat hono Rp. 25.000 untuk tampil sekian detik dalam film "Istana Kecantikan dan Kelabang Seribu".

Walau belum bergeser dari film-film laga, Erik tetap untuk berprinsip tidak akan menerima tawaran main film yang ada adegan panas. 


#eriksoemadinata

Thursday, November 27, 2025

RINA LIDYA RAWIT

 


RINA LIDYA RAWIT  anggota Srimult pertama main film di gaet oleh Nya' Abbas Akub untuk mendukung film "Cintaku Di Rumah Susun" . Di susul film-film berikutnya Kipas-Kipas cari Angin, Nyoman Dan Merah Putih, Wanita Harimau atau Santet II serta Makelar Kodok. 

"Pertama saya main di depan kamera rasanya seperti di uber setan gitu, lihat kamera kayak lihat setan, takut. Tapi lama-lama ya enggak," kata Rina. 

Setelah jadi pembatu dalam Cintaku Di Rumah Susun, Rina jadi isteri Pak Tile dalam Kipas-Kipas Cari Angin, kemudian jadi keponakan tokoh yang dimainkan oleh Roy Marten dalamfilm Nyoman dan merah Putih. Sedang dalam Wanita Harimau atau Santet II jadi pacar Bokir, dan dalam Makelar Kodok jadi hostes. 

"Jadi apa saja, diajak siapa saja saya mau, asal tidak diajak nyebur sumur aja," ungkap Rina yang lahir 19 Februari 1960 yang merupakan saudara kandung dari Neni Ribut Rawit yang juga main di Srimulat. 

Selain ikut dengan Srimulat, Rina juga sering melawak dengan grup-grup lainnya seperti grup Srimulat, Grup Tarzan, dan Grup Eddy Gombloh. Tarif sekali manggung Rina mengantongi Rp. 400.000,-.

Setelah sekali main film, Rina mengaku ketagihan. Kalau akting di panggung merasa leih bebas an spontan sedang di film selalu berdasar skenario dan petunjuk sutradara. 


~MF 095/63 Tahun V, 17  Feb - 2 Maret 1990

ANAS ROIZAEN, MURID MANTILI


INILAH PEMERAN MURID MANTILI YANG BERSAMA GARNIS DALAM SAUR SEPUH 4. ANAS ROIZAEN, Pada jaman Sultan Agung dan Diponegoro  para pendekar bergabung menentang kolonial, para empu menciptakan ajang di Timur Tengah untuk menyalurkan para pendekar modern dengan senjata otomatisnya. Para pendekar di jaman kerajaan dulu , telah mewarisi sisa-sisa kepatriotan dan budaya. Silat adalah salah satu warisan budaya yang terus berkembang menjadi seni olahraga bela diri. Pendekar-pendekar silat tidak sedikit yang berangkat ke medan laga untuk menyalurkan lewat dunia film, Anas Roizaen adalah salah satu diantaranya. Pria asal Tegal ini berniat berlaga di film. Di Tegal, ia aktif di organisasi film club, selepas SMA dalam masa-masa pencarian jati dirinya ia sempat nongkron di IAIN Sunan Gunung Jati Cirebon, itu terjadi pada tahun 1987, pada tahun yagn sama pula ia lari dari Sunan Gunung Jati dan mengeram di Pondok Pesantren Kadu Sumur Banten. Akan tetapi tidak lama kemudian kembali lagi ke Tegal dan memperkuat perguruan Silat Trenggani yang di pimpin oleh Benhur. 

Benhur sangat percaya pada bakat anaknya, maka Anas panggilan akrab yang bernama lengkap Mokhamad Nasucha bin Zaenudin Benhur ditugasi menjadi instruktur di perguruan Trenggani. 

Pertama kali bertemu dengan Ki Dalang Imam Tantowi pada acara Film Club di Jakarta. Pada tahun 1989 ia langsung bergabung dalam film "Pancasona" kemudian disusul dengan "Ajian Nyimas Gandasari" "Pertarungan" , "Saur Sepuh III dan berlaga di Saur Sepuh IV. Sampai dengan film kelima tersebut ia belum pernah mendapat kesempata untuk memegang peran utama , kecuali peran peran pembantu. 

Sesuai dengan nama aslinya Nasucha, ia tidak mau meninggalkan sholatnya dan dimana ada kesempatan ia selalu berusaha untuk membaca kitab suci Al Quran baik itu dirumah , masjid maupun di lokasi suting. Ia pernah mengalami kecelakaan kecil di lokasi suting, justru ketika ia hendak menjalani ibadah sholat. Di waktu subuh, ia terpeleset dan masuk kolam comberan, untung ada yang menolong sehingga ia cuma pingsan. Mungkin pagi itu masi cukup gelap sementara kabut menghalangi pemandangan di Sukabumi, sehingga ia tidak bisa melihat daerah yang rawan. Kali ini si jago silat tak bisa berkutik menghadapi comberan. 

"Ya jika mungkin saya ingin menjadi instruktur" tuturnya malu-malu . Anas setiap usai subuhan ia langsung berlatih silat secara rutin serutin sholat itu sendiri. "Menurut saya pesilat jika menjadi instruktur justru akan semakin maju, karena disana mau tidak mau dia dituntut mengembangkan jurus-jurus baru seperti layaknya kerja seorang koreografer", jelas Imam Tantowi. Barangkali itulah yang embuat ia semakin bergairah. 

~MF 120/88 Tahun VII 2 -15 Feb 1991

Wednesday, November 26, 2025

DRAMA SERI "SARTIKA" Judul : NOSTALGIA DOKTER IMAM

 


DRAMA SERI "SARTIKA" 

Judul : NOSTALGIA DOKTER IMAM

Karya : Tatik Maliyati WS

Sutradara : Bambang BS

Tayang di TVRI, 10 Februari 1991 jam 21.35 WIB

Dokter Imam dan dr. Sartika melanjutkan bulan madunya ke Ketapang, kota kecil tempat dokter Imam pertama kalinya menjalankan tugasnya sebagai dokter Puskesmas. Ia menjumpai bekas mantri kesehatannya yang kini sudah pensiun. Mantri itu dulu orang yagn sangat berjasa baginya dalam menjalankan tugasnya. dr. Imam juga bernostalgia dengan bekas pasiennya. 

Pengantin baru ini mengunjungi perusahaan penebangan kayu dnegan harapan ketemu Kohar. Tapi rupanya Kohar tidak ada di perusahaan itu. Sartika sendiri di kota kecil ini banyak menemukan masalah kesehatan yang perlu penanggulangan. Dia temukan anak-anak dan orangtua yang giginya rapuh karena kurang kadar flour. Banyak juga ia menjumpai orang yang berobat ke dukun.  Sedang biasa saja karena ia sudah kenal betul dengan situasi di daerah itu. 

Sartika cemburu ketika dr. Imam menjumpai bekas pasiennya. Ia ingin cepat-cepat pulang Akan tetapi tidak lama kemudian Sartika hatinya luluh setelah melihat penderitaan wanita itu Suaminya menderita kusta dan dirawat di Singkawang. Sartika terdorong niat untuk pegi ke Singkawang, ia ingin tahu sendiri bagaimana Pemerintah dalam meresosialisasi para ex kusta. 


Tuesday, November 25, 2025

DARTI MANULANG

 


DARTI MANULANG. Penampilan awalnya di layar gelas. Kemudian mendapat tawaran untuk main film. Lalu suting film inilah yang sempat membuatnya sakit lever. Padahal kedua orangtuanya tidak menyetujui bergelut di dalam bidang film. Darti manulang juga berhasil menamatkan kuliah di UKI dan menyandang gelar SH. tentu sebuah gelar yang bergengsi. 

Darti sakit lever karena terlalu letih, akibat suting. itulah sebabnya ia lebih suka menjadi pengacara daripada seorang artis. Karena kesibukannya di luar film, Darti juga sempat menolak tawaran main film yang datang padanya.Ia menolak bukan karena ditawarin film berbau  s e  k s, karena ia pasti akan menolaknya untuk adegan tersebut. 

Artis bernama lengkap Resmina Yadharty Manullang ini juga sempat melakoni beberapa film nasional antara lain "Jangan kirimi aku bunga, Di balik Dinding Kelabu" Lupus I dan II, Lintar, Lebih Asyik sama Kamu, Djakarta 66 dan Bayar Tapi nyicil. 

Ada yang masih ingat artis ini? mungkin lebih kenal sebagai artis sinetron dengan peran antagonisnya??

~MF 095/63 Tahun V, 17  Feb - 2 Maret 1990


Monday, November 24, 2025

MENUMPAS PETUALANG CINTA, PENCAK SILAT KONTRA KUNG FU

 


ERICK SOEMADINATA dalam Menumpas Petualang Cinta. PENCAK SILAT KONTRA KUNG FU. Seorang lelaki Cina muda dengan rambut di kepang panjang ala pendekar Pui Sigiok dari biara Shaolin, dengan congkak petantang petenteng di sebuah desa di kawasan Jawa Barat. Senjata andalannya sebuah kpas berjeruji pisau. Tokoh bernama Po Seng dengan kekuasaannya mengangkat dirinya sendiri menjadi semacam raja kecil di wilayahnya. 

Sebagai penentang kesewenangannya muncul Jaka, pemuda gemblengan pesantren. Duel antara mereka menjadi atraksi yang menarik, karena yang satu berbekal kung fu sedangkan yang lain mengembangkan jurus-jurus pencak silat. 

Diarahkan oleh sutradara Tjut Djalil, kedua pemeran harus berulang kali bergebrak, "Agar nampak realistis, para pemain film silat sebaiknya memang memiliki bekal ilmu bela diri yang cukup, " ujar Pelatih Kelahi Eddy S Jonathan, yang tak jemu-jemunya memberi contoh gerakan. 

Tokoh Po Sang di perankan oleh Steady Rimba yang menilik dandanannya mengingatkan pada mendiang Alexander Fu Shen dari Shaw Bros. Tubuhnya memang cukup kekar, Gebrakannya juga lumayan mantap. Sebagai lawannya Jaka bukan lain adalah Errick Soemadinata yang sudah di kenal lewat serial silat "Si Gobang".

Masih ada lagi Golden Kasmara, yagn berperan sebagai A-Cai dan Yurike Prastica sebagai Ling Ling. Keduanya melambangkan  pendekar-pendekar muda keturunan Cina yang baik dan bertrio dengan jaka menumpas si Jahat Po Seng!. 

"Banyak adegan seru yang baru dan lain dari yang lain di film ini," promosi Eddy. "Antaranya ada adegan Errick di jerat dengan tali temali sampai jatuh kelubang perangkap penuh bambu runcing. Juga adegan Yurike dengan Golden dibuat artistik.

Dalam suatu adegan, Yurike berjumpalitan tinggi, lalu kakinya "menclok" ke pundak Golden. Dengan jurus istimewa inilah mereka memecahkan keangkeran Steddy. Kamerawan Ridwan Djunaedi boleh di puji berhasil  memvisualkan adegan demi adeagan dengan cukup terampil.

"Untuk menghidupkan suasana Betawi "tempoe Doeloe" sengaja kami memilih lokasi suting di sekitar Sukabumi yang masih asli", kata produser Ferry Angriawan dari PT. Virgo Putra Film yang merupakan produksi ke 38 ini. "Semua pemain dan kru di himpun di Sukabumi. Namun karena gangguan cuaca, seperti misalnya turuh hujan secara mendadak, tak kurang pembuatan film ini memakan waktu hingga 40 hari. disusul kemudian dengan proses selanjutnya yaitu dubbing, pengisian effect suara dan musik. 


~MF 095/63 Tahun V, 17  Feb - 2 Maret 1990


YASMAN YAZID, BIKIN FILM SESUAI SELERA PASAR


 Kiat Yasman Yazid membikin film adalah untuk dapat di tonton masyarakat. Wajar bila ia mengutamakan selera pasar, dapripada membikin film seni. Meski begitu, ia tidak pula membikin film asal jadi. Tanpa struktur cerita yang jelas,"Bagi saya membikin film ceritanya harus jelas, meski film komedi sekalipun. Terus terang, saya tidak bisa membikin film tanpa struktur cerita yang jelas,"katanya. 

"Justru itu saya tidak bisa membikin film yang hanya mengandalkan perempuan perempuan cantik, tanpa ikatan cerita yang jelas. "Wajar bila dalam film terbarunya adegan-adegan merangsang tidak mendominasi setiap rol seluloid, seperti film komedi kebanyakan. Seperti film Plin Plan (Plintat plintut) menurut Yasman nafas filmnya adalah komedi situasi. Bukan komedi slapstick yang hanya bermodal plesetan. 

"Kekuatan film ini adalah komedi situasinya. Karena yang saya permainkan adalah karakter Doyok dan Kadir. Slapstick itu perlu, tapi dalam film ini tidak terlalu mendominasi. Yang saya lemparkan dalam film ini adalah tentang gosip. Tidak pula membungkusnya dengan kritik sosial. Oleh sebab itu bingkaian film ini adalah bentuk cerita yang jelas," ujarnya. 

Yasman Yazid sadar betul bahwa persiapannya untuk menarik penonton cukup ketat. "Namun saya tidak takut, persoalannya apa yang saya bikin merupakan film yang bisa diterima masyarakat," katanya. 


~MF 167/134/TH.IV 28 Nov-11 Des 1992